SELAMAT DATANG DI BLOGSPOT BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMERINTAHAN DESA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA KABUPATEN BENGKAYANG

Rabu, 09 Mei 2012

STRATEGI MEMBANGUN DAERAH TERTINGGAL


Kehidupan orang Dayak Bengkayang th 1922-1932
Kabinet Indonesia Bersatu mengklaim bahwa sampai Tahun 2009 telah dapat mengentaskan 50 kabupaten tertinggal, sehingga dari 199 kabupaten tertinggal masih ada 149 kabupaten tertinggal yang perlu ditangani.  Namun karena sampai Tahun 2009 terdapat 34 daerah otonom baru yang berasal dari daerah induk yang berstatus daerah tertinggal, maka KIB jilid II dalam lima tahun kedepan memiliki kewajiban membina 183 kabupaten tertinggal.  Dalam rancangan RPJM Nasional 2010-2014 telah dipasang target bahwa pada Tahun 2014 ada 50 lagi kabupaten tertinggal  yang harus terentaskan.
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) sebagai bagian dari portopolio KIB disamping memiliki target mengentaskan 50 kabupaten tertinggal pada akhir Tahun 2014, juga memasang tiga target lainnya, yaitu: a) meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dari 6,6 % pada tahun 2010 menjadi 7,1 % pada Tahun 2014; b) berkurangnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal dari 18,8% pada Tahun 2010 menjadi 14,2% pada Tahun 2014; dan c) meningkatnya kualitas sumberdaya manusia (yang ditunjukkan oleh IPM)  dari 67,7 pada tahun 2010 menjadi 72,2 pada Tahun 2014.
Prestasi dan komitmen pemerintah dalam menangani kesenjangan wilayah tidaklah keliru jika kita apresiasi dengan baik. Namun demikian ada beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan mengingat apa yang telah dilakukan pemerintah itu belum sepenuhnya sesuai harapan (masyarakat dan daerah).
Kinerja pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal salah satunya ditentukan oleh kualitas KPDT. Kedepan KPDT perlu meningkatkan kapasitas sumber daya internalnya. Bagaimanapun KPDT memiliki tugas dan fungsi yang sangat penting yaitu merumuskan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan daerah tertinggal (Perpres No. 9/2005). Bahkan KPDT memiliki tugas dan fungsi tambahan dalam operasional kebijakan di bidang pembangunan infrastruktur perdesaan, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan ekonomi lokal (Perpres No. 90/2006).  Dan hampir 50 % kabupaten di Indonesia menjadi "pasien" KPDT. Maka tidak salah jika kementerian/lembaga lain, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat memiliki harapan yang tinggi atas peran yang semestinya dimainkan oleh KPDT di dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal. Penegasan Kabinet Indonesia Bersatu yang menempatkan daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik sebagai salah satu prioritas nasional seyogyanya disikapi oleh internal KPDT secara lebih profesional  dan percaya diri sehingga bisa menjadi leader (imam) yang efektif.
Hal lain yang perlu diperjelas yaitu menyangkut penetapan daerah tertinggal.  Di sini perlu ada transfaransi dan konsistensi dalam methodologi, serta tidak mudah diintervensi oleh kepentingan politis. Kekeliruan pemerintah dalam menetapkan status ketertinggalan suatu daerah akan berdampak pada efektifitas  afirmatif action yang dilakukan kemudian
Dayak Punan

Penyebab utama ketertinggalan suatu daerah diantaranya karena kebijakan pembangunan yang terlalu berdimensi sektoral. Hal ini dibuktikan dengan dominannya penerapan asas dekonsentrasi dan orientasi sektoral pemerintah pusat. Di daerah juga setali tiga uang (sama saja). Ini terlihat dari kuatnya ego dinas dan pendekatan sektoral dalam RPJM Daerah.
Belum optimalnya pendekatan spasial dalam perencanaan pembangunan dapat dirasakan dari adanya ketimpangan antardaerah. Diabaikannya dimensi spasial membuat warna pembangunan daerah  ditentukan "mekanisme pasar".  Akibatnya modal dan orang cenderung memilih daerah yang menawarkan return yang lebih tinggi dan menarik, yang pada gilirannya daerah yang maju semakin maju, yang tertinggal tetap tertinggal.
Melihat problematika ini maka kedepan perlu dilakukan reorientasi strategi pembangunan daerah tertinggal. Pertama, strategi pembangunan ekonomi lokal perlu lebih menekankan dimensi spasial. Daerah perlu mengombinasikan pendekatan sektoral berbasis kluster di mana saat ini bisnis / sektor unggulan daerah maupun rakyat miskin cenderung mengelompok.
Kedua, perlu adanya integrasi strategi pembangunan perdesaan dengan strategi pembangunan  perkotaan. Desa umumnya masih tertinggal dalam berbagai jenis infrastruktur. Dengan integrasi ini diharapkan dapat dikembangkan keterkaitan desa-kota (ruralurban linkage) dan jejaring antarkota (network cities).
Ketiga, diperlukan Big Push bagi percepatan pembangunan daerah tertinggal. Teori Big Push ini pertama kali dicetuskan Paul Narcyz Rosenstein-Rodan. Pada 1943, Rosenstein-Rodan menulis artikel tentang "Problems of Industrialisation of Eastern and South-Eastern Europe". Dalam teori yang belakangan dikenal dengan Big Push Model, ditekankan perlunya rencana dan program aksi dengan investasi skala besar untuk mempercepat industrialisasi di negara-negara Eropa Timur dan Tenggara.
Dalam konteks daerah tertinggal, "daya dorong yang besar" bisa diartikan modal dan infrastruktur. Aksesibilitas modal dan keberpihakannya kepada daerah tertinggal merupakan langkah strategis. Pengembangan infrastruktur yang menghubungkan daerah tertinggal dengan pusat-pusat bisnis, pasar, dan jejaring internasional tampaknya perlu menjadi prioritas bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.
Berdasarkan perhitungan awal KPDT  total kebutuhan investasi di kabupaten tertinggal Tahun 2010-2014 mencapai sekitar  Rp. 716 Triliun. Angka ini barangkali mendekati pemenuhan kebutuhan Big Push Model. Hanya saja upaya pemenuhan seluruh kebutuhan daerah tertinggal untuk keluar dari ketertinggalan hanyalah mimpi jika mengandalkan anggaran KPDT semata, karena alokasi anggaran APBN yang dikelola KPDT hanya sekitar Rp. 1 Triliun per tahun.
Besarnya dana yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan percepatan pembangunan daerah tertinggal perlu diupayakan  dengan berbagai cara (yang syah) diantaranya melalui: (1) pemberian insentif kepada investor  agar tertarik berinvestasi di daerah tertinggal, dan (2) mainstraiming alokasi anggaran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk fokus pada penyelesaian ketertinggalan daerah.
Semua gambaran permasalahan dan kebutuhan daerah tertinggal di atas merupakan sebuah tantangan. Harapannya sekarang terletak pada pembuktikan komitmen pemerintah. Keinginan mengentaskan ketertinggalan daerah hendaknya tidak berhenti pada dokumen perencanaan semata, apalagi sekedar basa-basi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar