SELAMAT DATANG DI BLOGSPOT BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMERINTAHAN DESA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA KABUPATEN BENGKAYANG

Jumat, 14 Desember 2012

Pentingnya Mendorong Pelaku Usaha Mikro Dalam Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

Burung Enggang/Kenyalang/Alo
Pemberdayaan Usaha Mikro (UM) dan Pemberdayaan LKM haruslah mencakup dua aspek ,yaitu aspek regulasi dan aspek penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri harus saling terkait dan mendukung, sehingga mampu membentuk sinergi dalam pengembangan usaha mikro.
          Dalam aspek regulasi, berdasarkan studi kasus dan pengalaman selama ini masih terbatasnya layanan kerangka hukum keuangan mikro, kurang memadainya peraturan pengawasan, serta masih diterapkannya bentuk kredit bersubsidi dengan target sasaran tertentu, tanpa mendesain system tabungan sebagai investasi masyarakat.
          Sedangkan dalam aspek kelembagaan secara ekonomi di tingkat pedesaan belum tersentuhnya kelembagaan yang memungkinkan masyarakat turut serta berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengelolaannya. Oleh karena itu instrumen yang dibutuhkan dengan menghadirkan pembentukan Badan Usaha yang dapat mengayomi kesempatan berusaha bagi masyarakat yakni melalui BUMDes.
          Pemerintah telah berkomitmen dengan mengadopsi resolusi PBB tentang The International Year of Mikrocredit 2005, menyebabkan sangat diperlukannya kebijakan nasional bagi keuangan mikro untuk mengatasi keterbatasan perbankan melalui penciptaan lingkungan yang memungkinkan LKM yang sudah ada saat ini untuk memperluas pelayanan mereka serta mendukung terbentuknya berbagai LKM untuk mengisi pelayanan permodalan mikro terutama di wilayah perdesaan, dan BUMDes diharapkan dapat menjawab keberadaan LKM dimaksud.
          Bentuk layanan keuangan mikro secara formal dimiliki oleh Perbankan dan Koperasi yang sejujurnya belum menjangkau layanan keuangan mikro di daerah perdesaan dimana mayarakat sangat membutuhkan sentuhan modal usaha. Sedangkan bentuk lain berupa layanan keuangan mikro di daerah perdesaan dimana
Masyarakat sangat membutuhkan sentuhan modal usaha. Sedangkan bentuk lain berupa layanan keuangan informal yang dimiliki oleh masyarakat perdesaan itu sendiri yakni atau disebut LKM Bukan Bank dan Bukan Koperasi (LKM B3K) dan sudah beroperasi puluhan tahun.
          Bedasarkan pendataan sebaran LKM B3K sebagaimana diamanatkan dalam inpres 3 Tahun 2010 tentang Pembangunan Yang Berkeadilan,diperintahkan kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menginventarisir LKM B3K yang masih beroperasi di perdesaan jumlahnya + 61.400 unit (hampir menyamai jumlah desa di Indonesia).
          Sebaran LKM B3K ini segera mungkin dapat mempunyai kekuatan hukum, dengan bertranformasi menjadi BPR, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagaimana telah disepakati melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Koperasi dan UKM, dan Gubernur Bank Indonesia, dan BUMDes secara de fakto mempunyai kekuatan legalitas yang diakui menurut Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.

Peran LKM-B3K Dalam BUMDes  
           Mengingat sentralnya perananLKM B3K dalam BUMDes, maka pemerintah berkewajiban memberikan perhatian yang serius dan konsisten, dan merupakan kebijakan yang tidak terpisahkan dengan program pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, sangatlah tepat bila pada pasal 3 UU No.20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, dinyatakan bahwa Usaha Mikro, bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Untuk itu, sinergitas penyusunan kebijakan setiap level pemerintahan sangat diperlukan dan disesuaikan dengan kewenangan masing-masing sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
          Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, strategi pengembangan BUMDes tidak semata didasarkan pada aspek target pertumbuhan ekonomi, akan tetapi yang lebih penting adalah menciptakan aktifitas ekonomi yang kondusif di tingkat desa paling tidak memecahkan kendala pengembangan usaha desa guna mendorong peningkatan pendapatan masyarakat sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara luas.
          Komitmen dalam pemberdayaan BUMDes perlu juga memperhatikan kewenangan penyelenggaraan pembinaan kepemerintahan. Hubungan kerjasama antar dunia usaha dan pemerintah daerah perlu senantiasa dijaga agar dapat saling sinergi. Oleh karena itu, salah satu peran yang diemban oleh provinsi adalah mengkoordinasikan dan menserasikan kebijakan dan program penyelenggaraan pembinaan usaha ekonomi masyarakat.
          Dalam hal penyelenggaraan pembinaan LKM B3K melalui BUMDes, maka perlu menekankan adanya aspek “keterpaduan” dimana pembinaan dislenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan, antara lain, adalah Pemerintahan, pemerintah daerah, dan pengusaha Mikro di perdesaan.

Pijakan Regulasi
          Sebagaimana digariskan dalam Peraturan pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pada era otonomi daerah saat ini, banyak urusan pemerintah berupa kewenangan untuk mengatur fungsi pelayanan masyarakat telah diserahkan ke daerah, baik tingkat provinsi ataupun Kabupaten dan Kota. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakat.
          Perangkat kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, sebagai landasan berpijak dengan memperhatikan struktur kelembagaannya di tingkat Desa yakni melalui BUMDes berdasarkan Permendagri No. 39 Tahun 2010. Proses fasilitasi pengembangan BUMDes agar dapat diteruskan dengan program-program yang konkrit dan dapat diimplementasikan penyelenggaraan perencanaan, dan pengendalian secara terpadu.

 Kondisi Obyektif
           Rendahnya produktivitas pelayanan di Desa selama ini lebih disebabkan oleh lemahnya sumberdaya manusia di bidang manajemen, organisasi yang kurang professional, penguasaan teknologi dan pemasaran yang lemah, serta rendahnya kualitas kewirausahaan dari para pelaku usaha mikro.
          Masalah pengembangan BUMDes juga bertambah rumit karena kebanyakan usaha mikro kurang difasilitasi dengan akses terhadap permodalan, informasi, pasar, teknologi dan factor-faktor penunjang bisnis lainnya. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dalam bentuk affirmative action atau tindakan keberpihakan, yakni bahwa pemerintah dan pemerintah daerah memang harus mengembangkan BUMDes.
          Ada dua piihak yang diharapkan berperan aktif dalam mengembangkan BUMDes:
  1. Pemerintah Daerah, diharapkan membantu dalam regulasi, program maupun bantuan teknis dan permodalan.
  2. Swasta, diharapkan melakukan kemitraan pendampingan maupun permodalan baik yang terkait langsung dengan kegiatan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat maupun program perusahaan seperti Corporate Social Responsibility (CSR).

Perspektif BUMDes Ke Depan
          Kebijakan pemerintah dalam upaya pengembangan BUMDes, diperlukan suatu pemahaman yang terukur dan mendalam (diagnosis) untuk mengetahui apa sebenarnya permasalahan yang dihadapi oleh tiap-tiap usaha BUMDes di masyarakat yang akan dibina. Pembinaan tidak mungkin berhasil tanpa adanya pemahaman yang utuh atas kebutuhan klien dan tidak berkesinambungan.
          Pengembangan BUMDes membutuhkan pembinaan yang berkelanjutan guna mencapai sasaran. Perlunya pengembangan BUMDes, antara lain:
  1. Pengembangan unit usaha BUMDes idealnya bertumpu pada potensi dan kondisi local serta lebih berorientasi pada proses yang partisipatif;
  2. Pengembangan BUMDes bukan hanya pada strategi pemecahan permasalahan saja, tapi sampai pada strategi rencana tindak pengembangan unit usaha;
  3. Pengembangan BUMDes hendaknya melibatkan seluruh stakeholders, baik komponen masyarakat, pemerintah dan legislative serta dunia usaha.

Sumber :TERPADU, Media Komunikasi Pembangunan Desa Terpadu, 2011

Desa, Ujung Tombak Pembangunan Nasional

Burung Kuau/Burung Ruai
Pelaksanaan Kegiatan Nasional yang diselenggarakan Direktorat Jenderal PMD, Kementerian Dalam Negeri seperti, Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM), Lomba Desa dan Kelurahan, Hari Kesatuan Gerak PKK (HKG-PKK), dan Gelar Teknologi Tepat Guna (Gelar TTG) dapat dijadikan ajang pertemuan bagi para aparat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota sebagai media untuk saling, tukar pengalaman dalam pelaksanaan berbagai program serta kebijakan.
          Hal tersebut dikatakan Direktur Jenderal PMD, Drs. Ayip Muflich, SH,MS.i dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Sekditjen PMD, Drs. H. Achmad Zubaidi, M.Si, dalam Rapat Kerja Teknis Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Rakernis PMD) Tahun 2011, di Pontianak. Rakernis PMD ini diselenggarakan di sela-sela kegiatan Peringatan Gerakan Nasional Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat VIII (BBRGM) dan Hari Kesatuan Gerak PKK Ke- 39.
          Diharapkan, pertemuan tersebut menghasilkan suatu gambaran tentang permasalahan di daerah serta solusi yang dapat diambil untuk mengatasi  permasalahan tersebut. “Pemetaan terhadap berbagai isu-isu strategis serta solusi yang dihasilkan agar menjadi salah satu tolak ukur kita dalam merencanakan program dan kegiatan untuk tahun anggaran 2012 sehingga kebijakan yang dihasilkan oleh daerah dapat mendukung pemerintah dalam menanggulangi permasalahan nasional,” jelas Ayip.
          Menurut Dirjen,bahwa ujung tombak pembangunan nasional adalah pembangunan di tingkat pedesaan. Kebijakan ini kiranya dapatlah dipahami, mengingat dari sekitar 234,2 juta penduduk Indonesia, sekitar 14,15 % adalah penduduk miskin, dan mereka umumnya tinggal di perdesaan dan daerah kumuh perkotaan. “Untuk itu perlu kiranya kita duduk bersama dalam pertemuan ini untuk melakukan pemetaan terhadap berbagai permasalahan dan isu-isu strategis yang dapat kita angkat dalam rangka penanggulangan kemiskinan di wilayah  masing-masing,” kata dia.
          Dalam Rakernis PMD yang dipimpin Sekditjen, Drs. H. Achmad Zubaidi, M.Si, bertanya ke beberapa peserta yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia, apakah ada diantara para peserta yang hadir menginginkan agar provinsinya dijadikan kegiatan akbar BBRGM pada tahun 2012. Zubaidi pun dengan bijak menampung beberapa usulan yang menurut pendapatnya untuk melakukan kegiatan nasional tidak hanya melibat perorangan tetapi melibatkan banyak pihak dengan berbagai pertimbangan. Bahkan ketika ada peserta yang usul agar kegiatan tersebut diselenggarakan di Papua, Zubaidi berpendapat tidak semudah itu menyelenggarakan kegiatan nasional di sana, “Yang paling utama jadual penerbangan ke sana sangat terbatas, begitu juga sarana dan prasarana yang ada, “kata dia.
          Sementara itu, Direktur Kelembagaan dan Pelatihan Masyarakat, Direktorat Kelembagaan dan Pelatihan Masyarakat, Ditjen PMD, Drs. Nuryanto, MPA meminta kepada para peserta Rakernis PMD untuk mencermati makna penting dari kegiatan BBRGM yang senantiasa dihadiri oleh presiden RI. “Ada kajian politis bahwa nilai-nilai dan makna yang besar bagi bangsa jangan hanya terlihat pada bulan mei. Bulan Mei mewarnai 11 bulan lainnya bahwa semangat gotong royong ada di setiap bulan, “kata Nuryanto.
          Nuryanto meminta hendaknya kegiatan nasional BBRGM tidak sekedar seremonial semata, tetapi bermanfaat bagi masyarakat,” Kedepan kita wujudkan semangat gotong royong lebih ditingkatkan,”kata dia. Dalam Rakernis PMD ada beberapa point yang dibahas oleh para peserta diantaranya tentang BumDesa dan pasar desa, BBRGM dan HKG PKK  lomba desa/kelurahan, Gelar TTG dan Anugerah Si Kompak.


Terbatas SDM

            Kasubdit pengkreditan dan Simpan Pinjam, Direktorat Usaha Ekonomi Masyarakat, Anang Sudiana,SE,MM, mengungkapkan, BumDesa dinilai kurang banyak. Hal ini disebabkan, terbatasnya SDM. “SDM yang mengelola BumDesa masih lemah karena kurangnya mengikuti Bintek. Seandainya sudah mengikuti Bintek, kerap dimutasi akibatnya menghambat perkembangan keberadaan  BumDesa,”kata anang yang berharap agar sosialisasi BumDesa dilaksanakan berulang-ulang sehingga mendorong desa untuk membentuk BumDesa. Menurut dia, masalah lain yang menyebabkan BumDesa kurang berkembang karena keuangan daerah yang terbatas. Daerah tidak memprioritaskan pembentukan BumDesa, “Untuk itu kemitraan dengan pemilik modal sangatlah dibutuhkan.
          Ia menambahkan, selain masalah BumDesa masalah lain adalah tentang pasar desa. Saat ini pasar desa dibanjiri pasar modern. Ini disebabkan lemahnya pengawasan, karena diperlukan proteksi keberpihakan pasar desa. Selain itu, terbatasnya dana untuk pembangunan pasar desa, provinsi juga kesulitan membangun pasar desa yang nyaman.
          “Masih adanya pengelolaan pasar desa oleh kabupaten, kepemilikan asset tidak jelas. Padahal bila diserahkan ke desa bisa dikelola dengan bagus karena dilaksanakan oleh desa itu sendiri,”kata dia seraya menambahkan, pengurusan pasar desa masih bersifat tradisional.Sehingga perlu diadakan Bintek,”.
          Sementara itu, Direktur Kelembagaan dan Pelatihan Masyarakat Direktorat Kelembagaan dan Pelatihan Masyarakat, Drs. Nuryanto, MPA menuturkan permasalahan-permasalahan yang kerap dialami dalam kegiatan BBRGM diantaranya banyak daerah belum menganggarkan kegiatan BBRGM. Belum libatkan SKPD lain, masih ada aparat PMD belum paham ke-PMDan sehingga perlu sosialisasi BBRGM.
          Sedangkan Direktur Pemberdayaan Adat dan Sosial Budaya Masyarakat, Direktorat Pemberdayaan Adat dan Sosial Budaya Masyarakat, Dr.Ir. Sapto Supono,M.Si, mengatakan agar pelaksanaan BBRGM dan HKG PKK tetap disatukan dengan alternatif  waktu awal Mei untuk pencanangan tingkat nasional dan akhir Mei untuk acara puncak di tingkat provinsi,”Pada acara puncak BBRGM dan HKG PKK diusulkan pula pemberian penghargaan kepada Pemda berprestasi,”katanya. 

by. Drs. Ayip Muflich,  SH,M.Si

Menggelitik Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat dan Desa

Burung Kuau/Burung Ruai
Ada satu pertanyaan menggelitik muncul ketika berbagai program pembangunan desa marak diluncurkan yaitu “Apakah budaya masyarakat merupakan faktor penting yang diperhatikan bagi input kebijakan dalam menyusun program pembanguna desa?”. Ketika suatu kebijakan pembangunan desa mengemukakan penghargan terhadap nilai-nilai budaya yang ditemui sangat beraneka ragam di negeri kepulauan Nusantara ini, berartimengindikasikan suatu penghormatan terhadap nilai budaya sebagai suatu hak individu dan hak azasi masyarakat.
          Di era pasca reformasi indikasi terhadap nilai budaya ini, sebenarnya sudah tampak mengemuka ketika Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa diterbitkan sebagai penjabaran lebih lanjut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desa atau yang disebut dengan nama lain dinyatakan sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan batas wilayah yang didalamnya memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan warganya berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat. Hal ini diakui dan dihormati dalam sIstem Pemerintahan NKRI.
          Betapa tidak, jika ditelusuri jejak sejarah desa, pada tahun 1817 seorang warga Negara Belanda yang menjabat sebagai Pembantu Gubernur Jenderal Inggris bernama Mr. Mutinghe, menemukan adanya pemukiman di pesisir pantai Utara Jawa. Laporan temuan ini melandasi dikeluarkannya Indlansche Gemeente-Ordonantie (IGO) dan Indlansche Gemeentie-Ordonantie Buitengeustatesten (IGOB) oleh pemerintah kolonial Belanda masing-masing untuk daerah  Jawa dan luar Jawa. Ini merupakan bentuk pengakuan penghargaan terhadap hak otonomi asli desa. Demikian juga pada masa pendudukan Jepang, pengaturan tentang desa termasuk di dalamnya hokum adat tidak diganggu gugat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan penjajah tentunya.
          Adat istiadat atau hukum adat sebenarnya masih sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat desa. Bahkan masyarakat atau komunitas tertentu di kota-kotapun banyak yang masih membawa kebiasaan dan menerapkan adat istiadat dari desa atau kampung halaman mereka masing-masing. Sampai di kota atau daerah perantauan ikatan kekerabatan dalam budaya yang dimiliki masih dipertahankan. Ambil saja contoh perkumpulan masyarakat Minang, Tapanuli, Maluku yang tersebar di berbagai kota. Apalagi di daerah asal mereka tentunya ikatan kekerabatan dan adat istiadat ini lebih kental lagi. Asumsinya, banyak hal dalam kehidupan masyarakat dengan karakteristik seperti ini, termasuk dalam hal membangun desa seharusnya bisa menciptakan dukungan positif dan kondusif untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
          Namun, jika kita simak pergumulan pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sekelompok masyarakat yang mendapat “Lebelling” alias predikat miskin selama decade belakangan ini, serasa sebagai suatu “never ending business”. Seluruh potensi nampaknya telah dikerahkan, namun  penurunannya merambat perlahan serasa bergeming. Bahkan sinisme yang terlontar untuk perjuangan melawan kemiskinan ini bagaikan “Jauh Panggang dari Api”: Apa pasalnya? Apakah kebiasaan, adat istiadat, nilai-nilai budaya yang pekat mewarnai kehidupan dan interaksi social masyarakat desa memang benar-benar tidak mampu menjembatani jurang dalam antara si miskin dan si kaya di desa sehingga desa semakin tidak nyaman untuk ditinggali yang mengakibatkan orang desa berbondon-bondong hijrah ke kota ? atau jangan-jangan implementasi kebijakan yang sudah tegas meletakkan dasar keberpihakan pada masyarakat dan desa tergiring kearah yang keluar dari arah sasaran?
          Mari kita lihat payung hukum lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelatihan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat. Upaya pelestarian dan pengembangan dimaksudkan untuk memperkokoh jati diri individu dan masyarakat dalam mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Tujuannya mendukung pengembangan budaya nasional dalam mencapai kualitas ketahanan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
          Bagi institusi pemberdayaan masyarakat seperti Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD) ada dua aspek pokok penting yang menjadi titik perhatian. Yang pertama, dalam rangka mencapai tujuan prioritas sebagai bagian dari rencana strategis sampai tahun 2014 mendatang adat istiadat dan nilai social budaya masyarakat harus menjadi “obat kuat” yang memperkokoh jati diri individu dan masyarakat untuk mendukung kelancaran pemerintahan dan pembangunan. Yang kedua, dalam rangka mencapai peningkatan kualitas ketahanan nasional dan keutuhan NKRI, mau tidak mau pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai-nilai social budaya harus dilakukan.
          Masalahnya sekarang, bagaimana memastikan dan apa cirinya kalau suatu pembangunan desa memiliki konsep, program dan strategi pelaksanaan berdasarkan adat isitiadat dan nilai-nilai social budaya? Semisal Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), prosesnya sarat dengan forum musyawarah. Soal bermusyawarah kalau dilihat dari perspektif budaya atau adat istiadat sudah melekat pada proses interaksi social yang ada dalam komunitas desa. Namun musyawarah yang dikenalkan nampaknya melalui prosedur atau tahapan yang selain diperkenalkan dengan istilah-istilah baru yang bernuansa modern juga melalui tahapan yang cukup panjang. Kalau saja dapat memakai aturan adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat mungkin istilah “selesaikan secara adat” bisa lebih efektif dan efisien dan bahkan juga ekonomis. Yah, bagaimana kita tahu kalau tidak ada keberanian untuk mencobanya?

 Oleh : Abraham Raubun
Tenaga Ahli Utama  Sekretariat PDT

Camat Memiliki Peran Strategis Atasi konflik Masyarakat

Semakin kondisi kita belum siap seperti yang di lakonkan oleh negara-negara maju karena berbagai keterbatasan. Sehingga kita semakin rentan konflik, jika masing-masing pihak tidak selalu waspada dan responsif untuk saling memahami.
            Kebutuhan masyarakat juga demikian tumbuh berkembang, yang apabila kepentingan masyarakat setempat cenderung terabaikan, apalagi atas kehadiran perusahaan atau pihak-pihak megeksploitasi sumber daya, tidak terelakan akan terjadi konflik yang mengancam ketertiban. Terjadinya tindakan anarkhis pengrusakan, pembakaran dan bahkan pembunuhan sperti yang terjadi di Mesuji dan Bima. Oleh Karena itu Camat, dan Kepala desa/Lurah yang sebagai aparatur pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat dituntut memiliki kemampuan dengan naluri dan kepekaan tinggi. Sebagai ujung tombak pemerintah di daerah camat dan kepala desa harus mempunyai kepedulian, mampu berkomunikasi denga baik, memiliki loyalitas cerdas, dapat di percaya sadar bela negara, sehingga dapat menyelamatkan masyarakat dari berbagai ancaman dan konflik seperti yang terjadi belakangan ini dibeberapa daerah.
            Masalah-Masalah inilah yang menjadi topik pembahasan pada acara Forum Fasilitasi Revitalisasi Pancasila bagi Aparatur Pemerintah, yang diikuti oleh para camat dari berbagai daerah di Indonesia, yang diselenggarakan Ditjen Kesbangpol Kemendagri di Jakarta 2-3 Maret 2012 yang baru lalu.
Kegiatan yang bertema:"Revitalisasi Pancasila Dalam Rangka Penguatan jatidiri Bangsa" ini,dimaksudkan untuk terbangunnya suatau perserpsi yang sama dari seluruh peserta dalam rangka menumbuhkembangkan kembali pemahaman nilai-nilai Pancasila bagi aparatur pemerintah sekaligus mengamalkannya. Berbagai penafsiran terhadap ideologi Pancasila, dikhawatirkan akan membawa bangsa Indonesia Menghadapi krisis Ideologi. Menguatnya pengaruh budaya asing (Westernisasi) yang terjadi terhadap prilaku dan gaya hidup masyarakat Indonesia yang tidak lagi mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila, serta munculnya faham-faham Radikal, meguatnya chauvirisme kesukuan sehingga membuat terjadinya disharmonis sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan aparatur Pemerintah yang paling terdepan melihat dan memonitor permasalahan ini adalah camat dan kepala desa.
Aparat Pemerintah [Camat] sebagai stakeholders yang memiliki peran strategis dalam Pemerintah Daerah, dituntut dapat mendorong terjadinya suatu perubahan kearah yang lebih baik. Yaitu kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara yang sesuai dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar NKRI. 
Dalam Forum tersebut dibahas untuk disadari dan dipahami terutama oleh para Camat bahwa kalau aparatur pemerintah daerah seperti muspida tidak harmonis, akan berpengaruh kepada kondisi masyarakat dan jika harmonis maka masyarakat akan damai dan tenang. Oleh karena itu camat dan kepala daerah harus berdaya, cerdas untuk deteksi dini permasalahan masyarakat sebelum lebih jauh timbul konflik yang menimbulkan kerugian yang menelan harta dan jiwa. Dalam kaitan itu pemerintah daerah dengan ujung tombaknya camat dan kepala desa dituntut selalu meningkatkan partisipasi masyarakat sendiri untuk hidup harmonis dan kondusif dengan kesigapan tokoh-tokoh masyarakat terhadap kegiatan kelompok-kelompok yang mulai dengan gejala ekstrim.
Sumber :Media Kesatuan Bangsa, Vol II, N0.1,Maret 2012