SELAMAT DATANG DI BLOGSPOT BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMERINTAHAN DESA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA KABUPATEN BENGKAYANG

Selasa, 22 Mei 2012

Menjinakkan Orang-orang Sulit


Orang-orang sulit adalah mereka yang dianggap mengganggu kedamaian dan keindahan hidup kita dalam bekerja, maupun dalam hidup sehari-hari. Biasanya, orang-orang yang kita anggap ‘sulit’ tersebut adalah orang-orang yang sering membuat kita tersinggung, marah, merasa tidak dihargai, dan lain-lain. Sebagai akibatnya, kita kesulitan meningkatkan prestasi karena adanya orang-orang tersebut.

Seringkali julukan ‘orang-orang sulit’ sebenarnya hanya penilaian subyektif yang kita berikan kepada orang lain. Semuanya kembali berpulang kepada diri kita; apabila sebagai seorang karyawan profesional kita belajar melihat segala sesuatu dengan obyektif dan memberikan respon yang positif, saya yakin kita akan bisa menilai dengan lebih akurat.

Kadangkala, yang mempersulit kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri. Sebagai contoh, apabila kita tergolong orang yang kurang disiplin (sehingga tugas-tugas yang kita terima seringkali tidak bisa diselesaikan tepat waktu) sedangkan atasan kita adalah orang yang sangat disiplin (dan selalu menuntut bahwa setiap tugas harus diselesaikan tepat waktu), sekali waktu kita pasti akan menerima teguran. Ketika kita tidak juga menunjukkan perubahan, atasan mengeluarkan Surat Peringatan, bahkan sangsi. Jika itu yang terjadi, kita tidak bisa berkata bahwa atasan kita ‘orang yang sulit’, karena penilaian yang kita lakukan tidak lagi obyektif, melainkan sebaliknya. Karena itu, sebelum membuat penilaian kita perlu berkaca lebih dahulu dan melihat di mana letak sumber persoalannya; apakah memang di dalam diri orang lain, atau justru kita-lah ‘biang kerok’nya.

Mengapa menjadi ‘orang sulit’?
Penyebab yang pertama adalah karakter atau pembawaan orang yang bersangkutan.

Selain itu, bisa juga disebabkan karena orang tersebut (mungkin) sedang melakukan ‘tindakan balas dendam’; mungkin di waktu lampau ia pernah mengalami perlakuan serupa, entah oleh orang lain atau oleh kita sendiri, dan secara kebetulan ia mendapatkan kesempatan untuk melakukan pembalasan – ini lebih merupakan faktor personal.

Penyebab ketiga adalah karena orang tersebut memiliki kriteria/standar yang cukup tinggi, sehingga kita merasa tidak sanggup memenuhi standar tersebut. Hal itu bisa disebabkan karena standar yang dipatok terlalu tinggi, atau karena kita yang memiliki kualitas terlalu rendah.

Meresponi ‘orang-orang sulit’
Jika secara subyektif kita menganggap orang-orang tertentu sedang mempersulit hidup kita, namun kemudian kita mendapati bahwa yang menjadi sumber kesulitan itu adalah diri kita sendiri, yang perlu kita lakukan adalah berubah. Ketika kita mengubah diri, secara otomatis orang-orang tidak akan mempersulit kita lagi, karena mereka mulai mendapati bahwa kita bisa diajak bekerjasama secara profesional.

Jika penilaian yang kita buat sudah cukup obyektif (dengan kata lain, orang-orang tersebut memang orang yang ‘sulit’), yang perlu kita lakukan adalah bersikap kepada mereka dengan cara yang sama seperti kita menghendaki mereka memperlakukan kita. Dengan berbuat demikian, kita seperti sedang menaburkan benih yang diharapkan dapat bertumbuh dan akhirnya dimunculkan oleh orang yang bersangkutan.

Menyadarkan ‘orang-orang sulit’
Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan: pertama, kita langsung berbicara kepada orang tersebut dan memberitahunya bahwa apa yang ia lakukan sering menyulitkan kita, bahkan teman-teman yang lain. Jika kita berbicara dengan terbuka dan jujur, dan kita melakukannya berkali-kali, saya percaya ia akan menjadi sadar –sekeras apapun hatinya- kecuali orang itu memang kebal, bebal dan menyebalkan. Kalau itu yang terjadi, berarti orang tersebut bukan hanya sekadar keras kepala, namun juga keras hati.

Jika kita sudah mencoba sendirian namun tidak berhasil, mungkin kita harus memakai cara keroyokan –panggil beberapa teman yang lain, bahkan kalau perlu melibatkan pemimpin- untuk berbicara kepadanya.

Berbicara dari sudut pandang pemimpin, jika pimpinan sudah mengambil keputusan, tidak seharusnya ia mengubah-ubah keputusan, karena hal tersebut dapat menggangu kestabilan kerja orang-orang lain. Tapi saya juga tidak menutup mata bahwa memang ada pemimpin yang gampang sekali berubah pikiran/plin-plan. Ini sangat berbeda dengan orang yang sedang melakukan manuver – orang yang bermanuver akan melakukannya dengan tujuan yang jelas. Kadangkala, ada orang-orang yang memang suka ‘banting setir’ tanpa alasan jelas; ia melakukannya karena merasa memegang kendali. Kalau itu yang terjadi, sebagai karyawan kita perlu belajar mengenali sifat pemimpin dan mempersiapkan diri untuk dengan cepat mengikuti manuvernya.

Pahami bahwa setiap pemimpin menetapkan standar dengan sebuah alasan; standar yang ditetapkan pasti bertujuan untuk memajukan perusahaan yang ada. Itu sebabnya kita perlu belajar untuk memenuhi standar, karena dengan begitu kita sedang menunjukkan keprofesionalan kerja.

Sebenarnya, menyampaikan teguran adalah hal yang wajar untuk dilakukan oleh siapa saja; yang perlu kita perhatikan adalah batasan etika. Bagaimanapun juga, pemimpin berada dalam posisi yang lebih tinggi dari karyawan, sehingga sudah seharusnya seorang karyawan menghargai atasannya. Kalaupun seorang karyawan memberi teguran pada atasan, seyogianya ia menegur dengan cara yang terhormat dan dengan sikap yang menghargai, sehingga atasan membuka hati dan mendengar apa yang dikatakan oleh bawahan. Alasan mengapa ada pemimpin yang menjadi tersinggung ketika menerima teguran dari orang di bawahnya adalah karena cara penyampaian yang kurang sopan atau kurang hormat, sehingga menyinggung harga diri dari atasan tersebut. Jika kita berbicara dengan tutur kata yang sopan, pemilihan kata yang baik serta intonasi yang tepat, saya yakin orang yang kita ajak berbicara pasti akan membuka diri terhadap kita.

“Sayalah orang sulit itu!”
Jika kita mendapati bahwa ternyata kita-lah si orang sulit, terus tunjukkan perubahan yang harus kita munculkan. Dengan mulai menyadari bahwa diri kita adalah sumber masalah, secara otomatis kita akan mulai memikirkan apa yang harus dilakukan agar tidak lagi dianggap sebagai ‘orang sulit’. Tulis semua masukan yang kita terima dari teman maupun orang terdekat kita dan mulailah kaji secara obyektif. Kemudian mulailah merancang gaya hidup yang harus kita jalani dan ambillah tindakan tegas untuk mewujudkannya.

Menjinakkan ‘orang-orang sulit’
Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah belajar memahami orang yang bersangkutan – apa yang menjadi alasan ia berperilaku seperti itu; apakah karena konflik batin, sifat bawaan, atau karena standar yang terlalu tinggi. Setelah itu, cobalah menempatkan diri kita untuk berfungsi dan memenuhi apa yang ia harapkan. Dengan terus menaburkan benih-benih pengertian, saya yakin akan tiba waktunya orang lain dapat memahami kita juga.

Jangan terburu-buru menjatuhkan penilaian terhadap seseorang. Belajarlah untuk berdiam diri dan mengevaluasi terlebih dahulu, apakah penilaian yang kita berikan tersebut sudah obyektif, atau justru sebaliknya. Jika ternyata sifatnya subyektif, berarti masalahnya justru terletak pada diri kita; berubahlah! Ketika Anda berubah, orang tersebut secara otomatis akan menunjukkan perubahan terhadap Anda juga. Jika penilaian Anda sudah obyektif, belajarlah untuk memahami orang tersebut dan jadilah sosok seperti yang diangankan oleh orang yang Anda anggap ‘sulit’ itu. Dengan begitu, saya yakin hubungan satu sama lain akan semakin bertambah baik, demikian pula halnya dengan kinerja tim dan perusahaan. Ketika hal itu terjadi, kesuksesan menjadi semakin dekat dengan Anda.
Penulis : Steven Agustinus 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar