SELAMAT DATANG DI BLOGSPOT BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMERINTAHAN DESA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA KABUPATEN BENGKAYANG

Kamis, 03 Mei 2012

PENGENDALIAN DAN DEPOLITISASI PEMERINTAH DESA


Pengertian dan Istilah Desa

Istilah Desa yang digunakan mewakili nama-nama lain selain desa,seperti Gampong, Marga,Nagari ,Negeri,kampung,ngata,lembaga atau huta.
Dalam persfektif sosiologis Desa adalah komunitas yang menempati wilayah tertentu dimana warganya mengenal satu sama lain dengan baik, bercorak homogen dan bergantung pada alam. Berdasarkan Pandangan politik,Desa dipahami sebagai organisasi kekuasaan yang memiliki wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara (Pratikno,2000). Kajian-kajian politik juga telah memiliki tradisi membahas desa dalam topik otonomi dan demokrasi.
Berbicara otonomi desa akan menghasilkan sejumlah gagasan mengenai tipe desa,seperti self Governing Comunity (Berpemerintahan sendiri),Local Self Goverment (pemerintahaan lokal yang otonom) dan Local State Goverment (Pemerintah Negara di Lokal). Sedangakan desa dalam kontek demokrasi, pada umumnya desa dipandang sebagai Republik Mini yang sanggup melangsungkan kepengurusan publik dan pergantian kepemimpinan secara demokrasi. Desa adalah Republik Kecil yang Self Contained. Ukurannya tidak ditekankan pada pemenuhan atas tiga cabang kekuasaan yakni Legistatif,Eksekutif dan Yudikatif. Tetapi lebih menekankan pada ukuran kultur berdemokrasi yang telah lama di tubuhkan dan dirawat oleh desa. Karena itu, pelembagaan kultur dan tradisi berdemokrasi dianggap lebih penting di bandingkan pengaturan dan penciptaan institusi-istitusi formal demokrasi.

Pengendalian dan Depolitisasi Pemerintah Desa

Peraturan perundang-undangan sendiri bahwa melihat desa sebagai kesatuan atau persekutuan masyarakat hukum yang memiliki wilayah tertentu. Persekutuan dengan wilayah tertentu. Persekutuan dengan wilayah tertentu tersebut memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat sepanjang diakui dan di hormati Pemerintahan Negara Republik Indonesia (Pasal 1 Angka 12 UU No 32/2004).
Sedangakan berdasarkan UU No. 22/1999 Tentang Pemerintahaan Daerah dinilai telah berjasa karena bebagai hal, diantaranya : (1) UU ini dengan tegas memvonis bahwa kebijakan sebelumnya,melalui UU No. 5/1979,telah melanggar konstitusi Negara. (2) Bukan hanya merombak struktur dan pola hubungan, UU ini juga telah memberikan landasarn penciptaan desa sebagai komunitas politik. UU ini juga memungkinkan berlangsungnya demokrasi desa. Warga desa dapat mengontrol pemerintah desa melalui perwakilannya(BPD). Selain BPD juga masih banyak pintu masuk warga desa untuk berpartisipasi dalam pengelolaan desa. Pemilihan kepala desa dan BPD secara langsung, memungkinkan berlangsungnya proses kaderisasi (Pambudi,2007).
Namun dalam pelaksanaannya UU No.22/1999 dipatahkan oleh pelaksanaannya sendiri yang mempromosikan semangat yang berbeda,sekali UU tersebut mengilhami lahirnya prakarsa lokal serta mendinamisir politik desa pada sedikit daerah. Namun pada prakteknya pengendalian desa melalui penyeragaman dan pengendalian masih berlangsung melalui politik anggaran. Pada tahun 2004 UU No. 22/1999 digantikan dengan UU No.32/2004. Diamana pada esensinya desa kembali di tempatkan dibawah negara dengan mengurangi hiruk pikuk politik. Kedudukan pemerintah desa di “amankan” dari gangguan BPD dengan cara menghapus BPD untuk mengawasi jalannya pemerintah desa. Begitu juga internal BPD dilemahkan dengan hanya menjadi lembaga permusyawaratan. Sekalipun menguatkan posisi kepala desa dihadapan BPD. UU tersebut mengontrol kepala desa melalui seketaris desa adalah seorang PNS (pasal 202 Ayat (3)). Dengan melemahnya kedudukan BPD dan Pemerintah Desa maka ini dari UU No. 32/2004 adalah mengendalikan desa bukan hanya legistatifnya tetapi kualitas perubahan-perubahan ini membuat sejumlah kalangan menyimpulkan bahwa UU No.32 /2004 telah mengembalikan desa kedalam kedudukannya pada era UU No. 5/1979. (Pambudi,2007)
Pemilihan BPD yang tidak langsung lagi akan menutup pintu warga desa untuk berpartisipasi dalam menentukan jalannya penyelenggaraan pemerintah desa. Karena desa akan di intervensi oleh supra desa (Kecamatan) salasatunya melalui mata-matanya (Seketaris Desa). Inventaris ini akan semakin terasa dengan mengaktifkan kembali Bintara Pembina Desa (Babinsa) sebagian dari penguatan toritorial dan pada akhirnya politik semacam ini akan berubah tetap langgengnya sindrom politik warga desa. Sindrom ini akan menjadikan masyarakat desa merasa dirinya sebagai orang bodoh dan inferior. Desa,tempat tinggal sebagai tradisi kecil untuk membedakan kota yang tradisinya agung (Redfiled dalam Pambudi,2007).

Menginvestasikan Politik Desa

Melakukan investasi politik di desa hanya mungkin dilakukan apabila segenap cara pengendalian ditiadakan. BPD harus dikembalikan kedudukannya semula,yakni sebagai representatif masyarakat desa yang diberi kewenangan antara lain mengawasi pemerintahaan desa. Proses pemilihan BPD secara langsung sehingga menjadi lembaga yang memberikan kesempatan lahirnya pendidikan dan kaderisasi politik. Negara harus menghentikan memata-matai desa dengan tidak men-PNS kan seketaris desa dan menghidupkan kembali Babinsa jadi investasi politik di desa hanya akan kondusif apabila pemilihan dilakukan secara langsung,demokratis,pemerintah bisa diawasi,prakarsa lokal tumbuh subur dan masyarakat mempunyai peluang berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Apabila kondisi tersebut absen,bukan hanya investasi politik yang tidak mungkin,desa bahkan bisa berubah menjadi sarang bagi lahirnya kekuatan dan semangat anti demokrasi yang ditandai dengan maraknya apatisme atau bahkan primordialisme.
by hatari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar