SELAMAT DATANG DI BLOGSPOT BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMERINTAHAN DESA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA KABUPATEN BENGKAYANG

Kamis, 31 Mei 2012

Teori Retorika Aristoteles


Aristoteles

Aristoteles adalah murid Plato, filsuf terkenal dari zaman Yunani Kuno. Kala itu, di Yunani dikenal Kaum Sophie yang mengajarkan cara berbicara atau berorasi kepada orang-orang awam, pengacara, serta para politisi. Plato sendiri banyak menyindir perilaku Kaum Sophie ini karena menurutnya orasi yang mereka ajarkan itu miskin teori, dan terkesan dangkal.
Aristoteles berpendapat bahwa retorika itu sendiri sebenarnya bersifat netral. Maksudnya adalah orator itu sendiri bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya menyebarkan omongan yang gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by using these justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” (1991: 35). Aristoteles masih percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama dalam retorika. Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa retorika adalah seni. Retorika yang sukses adalah yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan kemampuan dalam mengolah kata-kata (eloquence).
Rethoric, salah satu karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi tentang psikologi khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa retorika menjadi sebuah ilmu, dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari pembicara, orasi, serta audiensnya. Orator sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang yang menggunakan pengetahuannya sebagai seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni berorasi.
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi ‘persuasif’, meskipun dia tidak menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun begitu, dia menekankan bahwa retorika adalah komunikasi yang sangat menghindari metode yang kohersif.
Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom speaking, yaitu yang dicontohkan dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi dalam persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric.
Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator atau pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik tertentu. Debat dalam kampanye termasuk dalam kategori ini. Sedangkan yang ketiga adalah ceremonial speaking, di mana yang dilakukan adalah upaya mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak lain guna mendapatkan perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini semacam tabligh akbar atau sejenisnya.
Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates, yaitu metode diskusi tanya-jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan retorika adalah kebalikannya. Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada banyak orang. Jika dialectic adalah upaya untuk mencari kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang telah diketemukan sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang umum, retorika hanya fokus pada satu hal saja. Dialectic berurusan dengan kepastian, sedang retorika berurusan dengan probabilitas (kemungkinan). Menurutnya, retorika adalah seni untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada khalayak yang belum yakin sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut, dengan cara yang paling cocok atau sesuai.
Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung kepada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.
Aristoteles mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis (logical proof), yakni enthymeme dan example (contoh). Enthymeme sendiri adalah semacam silogisme yang belum sempurna. Berikut ini contohnya:
Premis mayor : Semua manusia memiliki derajat yang sama
Premis minor : Saya adalah manusia
Konklusi : Maka saya memiliki derajat yang sama
Dalam entymeme, biasanya hanya menggunakan premis “semua manusia memiliki derajat yang sama dengan manusia yang lain…..Saya memiliki derajat yang sama”, tanpa perlu menggunakan premis “saya adalah manusia”.
Entymeme ini digunakan dengan tujuan agar khalayak menggunakan kerangka logika tertentu, sehingga mereka semacam diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang digunakan dalam silogisme yang dimaksud oleh orator tadi. Dengan memberikan ‘ruang’ tadi pada dasarnya khalayak digiring untuk menggunakan cara berpikir yang sama dengan apa yang dipikirkan oleh orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke dalam logika khalayak tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa cukup efektif.
Enthymeme kemudian diperkuat dengan example atau contoh. Jika enthymeme digunakan sebagai pembentuk logika atau kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk memperkuat pembuktian dengan detail contoh-contoh dari pemikiran yang dimaksudkan sebelumnya.
Pembuktian etis (ethical proof) menurut Aristoteles berpulang kepada kredibilitas dari orator tersebut. Retorika yang baik tidak hanya mengandalkan kata-kata yang baik semata, melainkan bahwa oratornya sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki kredibilitas. Karena seringkali khalayak sudah cukup terpesona kepada seseorang, bahkan sebelum orang tersebut berpidato atau berorasi. Sebelum kata-kata keluar dari mulut orang tersebut.
Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence, character, dan goodwill.
Intelligence atau kecerdasan lebih kepada persoalan kebijaksanaan dan kemampuan dalam berbagi nilai atau kepercayaan antara orator dengan khalayaknya. Maksudnya adalah khalayak seringkali menilai bahwa orator tersebut ‘cerdas’ adalah sejauh mana mereka sepakat atau memiliki kesamaan pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator tersebut. Orator yang cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu membaca cara berpikir khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara berpikirnya.
Character lebih kepada citra orator sebagai orang yang baik dan orang yang jujur. Jika seorang orator mampu memiliki citra sebagai orang yang baik dan jujur, apapun kata-kata yang disampaikan dalam orasinya maka khalayak cenderung lebih mudah untuk percaya. Begitu pula sebaliknya, jika orator yang bersangkutan memiliki citra yang kurang baik maka sebaik apapun kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.
Good will atau niat baik, adalah penilaian positif yang coba ditularkan oleh orator kepada khalayaknya. Seorang orator mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya, menunjukkan karakter kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu ‘menyentuh hati’ khalayaknya. Niat baik ini biasanya dapat dirasakan oleh hati khalayak.
Pembuktian emosional (emotional proof). Di sini orator dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana emosional yang ingin dicapai dalam sebuah orasi. Orator yang cerdas mampu mengendalikan suasana emosi yang diinginkan, bukan apa yang diinginkan khalayak, akan tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh orator itu sendiri. Dengan mengetahui karakteristik khalayak, pemahaman yang mendalam terhadap berbagai macam karakter emosi, diharapkan retorika yang dilakukan dapat berjalan efektif.
Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Aristoteles tentang retorika itu rumit, mereka kemudian menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam empat konsep tentang bagaimana mengukur kualitas seorang orator yang baik. Keempat hal tersebut adalah bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun bahan-bahan atau materi argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan bagaimana teknik penyampaiannya (tecniques of delivery).
Untuk menciptakan argumentasi yang baik, orator dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan penalaran dan logika yang baik dalam berbagai macam bentuk pembicaraan. Penguasaan terhadap berbagai macam topik, isu, informasi, data, dan sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori yang setiap saat mampu dibentuk menjadi argumentasi ketika orasi dilakukan. Semakin banyak memori yang dimiliki maka akan semakin mudah untuk menciptakan argumentasi yang baik.
Aristoteles mengingatkan tentang pentingnya penyusunan atau pentahapan argumentasi itu sendiri. Menurutnya, pada awal-awal orasi baiknya adalah sebagai upaya untuk menarik perhatian dari khalayak, menjaga kredibilitas, dan kemudian memperjelas maksud atau tujuan dari pembicaraan atau orasi itu sendiri. Yang terakhir adalah konklusi, yang sebaiknya adalah mengupayakan bagaimana khalayak akan selalu mengingat apa-apa yang telah kita katakan, dan kita meninggalkan khalayak dengan citra yang positif tentang diri kita dan ide-ide yang telah kita sampaikan kepada mereka.
Style atau gaya bicara adalah tentang bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan cara atau gaya bicara tertentu. Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu sendiri. Ada orator yang bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan tentang kata-kata apa yang disampaikannya.
Style ini juga terkait erat dengan cara penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada khalayak. Cara penyampaian yang menarik adalah hal yang penting dalam sebuah orasi. Karena seringkali kefektifan orasi dilihat dari sejauh mana khalayak menilai cara bicara atau cara orasi orang tersebut menarik atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya itu menjadi hal yang berikutnya.
Para pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini mengatakan bahwa kesalahan terbesar di sini adalah audiens atau khalayak dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles dianggap akan selalu mampu menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada khalayak sejauh mereka mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor yang penting yang terlupa oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.
Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak dinilai memadai jika dilihat sebagai landasan dalam studi dan praktek retorika. Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai macam penyesuaian dan semacamnya. Akan tetapi yang terpenting dari itu semua bahwa retorika atau komunikasi secama umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu untuk terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya berpulang kepada manusia itu sendiri.
Daftar Pustaka:
Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill, 2003, p.303—311
Bacaan lebih lanjut:
Aristotle, On Rethoric: A Theory of Civil Discourse, George A. Kennedy (ed. And trans.), Oxford University, New York, 1991

Selasa, 29 Mei 2012

Mari Mengkritik Dengan Santun


Tugu Simpang Tiga Kantor Bupati Bengkayang Satu Atap
Ucapan seseorang bisa memberi gambaran seperti apa orang itu. Ambil contoh, seseorang yang suka bicara blak-blakan maka ia orang yang terus terang. Mereka yang biasa berbicara santun maka ia adalah orang yang mengutamakan kesopanan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang suka mencela orang lain maka menunjukkan kepribadian yang mengagungkan diri sendiri. Tentu saja ada perkecualian. Banyak orang yang beda antara ucapan dan perilaku. Ucapan hanya dijadikan topeng untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukannya.
OK lepas dari hal tersebut, berbicara santun dan berperilaku santun menunjukkan kemuliaan kepribadian seseorang. Nah, begitu juga ketika kita memberi saran dan mengkritik seseorang. Hendaknya kita memperhatikan sopan santun. Sebelum mengkritik ada baiknya kita memahami dulu orang yang akan dikritik. Siapakah dia? Bagaimana kepribadiannya? Dan lain-lain. Dengan memahami mereka maka akan diperoleh cara yang jitu agar saran dan kritik kita diperhatikan. Cara menyampaikannya pun sebaiknya dengan santun, karena hal ini akan memberi kesan positif bagi yang dikritik.  Kesan yang baik akan membuat mereka mau memperhatikan apa yang Anda sampaikan. Selain itu, cari waktu yang tepat. Waktu dimana mereka dalam kondisi yang santai dan tidak sibuk. Waktu yang tepat dalam menyampaikan kritik juga akan membuat saran yang disampaikan lebih diperhatikan. Yang lebih penting lagi, dengarkan sanggahan yang mereka sampaikan, serta berikan solusi bagi permasalahan yang dihadapinya. Dengan cara ini maka orang yang dikritik akan mempunyai kesan positif terhadap kita dan akan lebih memperhatikan apa yang kita sampaikan.
Sebaliknya jika Anda dalam posisi dikritik, maka perhatikan apa yang disampaikan. Dengarkan apa aspirasi mereka. Setelah memahami apa yang mereka sampaikan maka jika Anda mempunyai alasan mengapa melakukan hal itu maka sampaikanlah dan mintalah solusi dari masalah yang Anda hadapi. Jika apa yang disampaikan itu benar maka terimalah kritik itu dan ucapkanlah terima kasih, sebab kritik itu akan menyempurnakan Anda dan memperbaiki kesalahan/kekurangan yang Anda punyai.
Pada kenyataannya kondisi di atas sulit dicapai disebabkan oleh ego-ego yang dominan diantara mereka. Yang mengkritik sudah punya pendapat negatif tanpa mau mendengarkan penjelasan dari pihak lain. Hal ini membuat mereka yang mengkritik menyampaikan asripasinya dengan cara yang tidak santun. Yang dikritik pun sudah punya asumsi negatif terhadap orang yang akan mengkritik, serta mempunyai anggapan bahwa apa yang dia lakukan adalah yang terbaik dan sudah benar. Apalagi ia sudah terlanjur tersinggung dengan cara penyampaian yang tidak santun. Hal ini tujuan kritik tidak akan mencapai sasaran.
Cobalah sampaikan saran dan kritik Anda dengan santun. Jika kritik Anda kurang diperhatikan sabarlah, dan sampaikan kritik Anda tanpa putus asa.

KEMARAHAN


Action Riam Merasap 2011

Kemarahan adalah suatu kondisi di mana lidah bekerja lebih cepat daripada pikiran.


Seringkali masalah yang diselesaikan dengan emosi negatif menghasilkan akibat yang negatif pula, sedangkan sebagian besar orang sangat gengsi untuk meminta maaf terhadap akibat negatif yang disebabkan oleh emosi negatif miiliknya.


Kemarahan adalah salah satu dari bentuk emosi negatif. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja baik di rumah maupun di kantor.


Memang ketika kita menghadapai suatu masalah, otak kita cenderung tidak dapat berpikir sehat dalam waktu beberapa detik. Dalam beberapa detik ini, sebagian besar cara berpikir kita dikuasai oleh emosi/ nafsu, sehingga pada beberapa orang yang tidak pandai mengendalikan emosinya akan melakukan tindakan-tindakan di luar kontrol otak sehatnya. Tindakan tersebut antara lain seperti memukul, memarahi orang lain, nada bicara meningkat, pekerjaan menjadi berantakan atau bahkan ada sebagian yang menangis!


Hal-hal negatif yang dilakukan tadi dapat memicu hal negatif lain dari orang yang menjadi sasaran emosi. Orang yang dipukul, misalnya, bisa jadi memiliki keinginan untuk membalasnya, sehingga terjadilah hal yang tidak diinginkan.


Seorang atasan yang selalu marah karena suatu hal yang kecil padahal hal itu belum tentu salah akan menyebabkan situasi kerja menjadi tidak maksimal dan tidak kondusif. Bawahan akan memendam perasaan benci karena selalu disalahkan, sedangkan dalam hatinya ia yakin bahwa pekerjaanya telah dilakukan dengan benar.


Pernahkah Anda merasa menyesali sesuatu karena kemarahan Anda? Sebagai contoh dahulu ketika seorang teman saya masih kecil, di hari ulang tahun ibunya ia merencanakan untuk memberikan hadiah spesial berupa kado yang berisi tas untuk ibunya. Untuk mendapatkan tas itu, tentu saja teman saya harus pergi ke kota yang jaraknya agak jauh. Ketika sampai di kota, karena belum pernah pergi kek ota tersebut akhirnya teman sayapun harus mencari-cari tas keliling kota hingga pulang sampai malam.


Ketika sampai di rumah, sebelum ia memnunjukan kadonya, ternyata sang ibu marah besar karena beliau khawatir putranya seharian belum pulang ke rumah, apalagi perginya tanpa pamit. Akhirnya teman saya dihukum tidak diberi makan malam.


Esok paginya, si Ibu melihat sebuah kado dengan catatan, "Selamat Ulang Tahun Ibu. Ananda harus pergi ke kota yang jauh, pergi seharian untuk mencari kado ini. Semoga Ibu menyukainya." Sang ibu pun tersadar, ternyata anaknya pergi seharian untuk dirinya. Namun semua sudah terlambat karena beliau sudah terlanjur memberi hukuman kepada anaknya.


Sahabat,


Ketika menghdapi masalah, dengarkan dan pelajari dulu dengan saksama apa yang terjadi hingga ditemukan kejelasan masalah. Diam beberapa menit lebih baik untuk mengumpulkan konsentrasi. Jangan biarkan tindakan atas dasar emosi menguasai kendali otak Anda. Seringkali kesalahpahaman akan masalah menimbulkan hal yang buruk bagi diri dan orang lain. Dan apabila emosi negatif terlanjur menguasai otak Anda sehingga menimbulkan akibat negatif, maka jangan segan-segan untuk meminta maaf!
Penulis : Firman Erry Probo

Senin, 28 Mei 2012

Jangan Hanya Bisa Mencari Kesalahan Orang Lain


Entah mengapa, ada dari kita  yang selalu punya kecenderungan untuk menjadi sosok yang gemar sekali mencari-cari kesalahan orang lain. Lihat saja betapa mudahnya seseorang menuntut dan mengkritik orang lain. Sebenarnya boleh-boleh saja mengkritik teman atau siapa pun, tapi dalam menyampaikan kritik, saran atau sebuah koreksi, sebaiknya kita tetap menghormati orang yang kita kritik.  Karena itu dalam menyampaikan informasi yang sifatnya sebuah koreksi, sebaiknya kita menyampaikannya dengan cara yang baik, ramah dan lembut. Dan jangan pernah menyampaikan dengan cara yang langsung menyudutkan dan menyalahkan, tapi kemukakanlah pendapat kita dengan cara yang baik, santun dan bijak.
Berkatalah yang baik atau diam. Ya, kita sebagai manusia memang telah diberikan banyak sekali kelebihan oleh Tuhan termasuk kelebihan dapat berbicara. Akan tetapi, banyak yang salah menggunakan kelebihan ini. Mereka tidak mengerti bahwa mulut yang telah dikaruniakan oleh-Nya seharusnya dapat dijaga dengan baik dan digunakan hanya untuk kebaikan.
Demikianlah, lidah seseorang itu sangat berbahaya sehingga dapat mendatangkan banyak kesalahan, bencana karena lidah antara lain berdusta, membicarakan orang lain, adu domba, saksi palsu, sumpah palsu, berbicara yang tidak berguna, menertawakan orang lain, menghina orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain, dsb.
Dalam mengkritik, kita harus bijak,  kita juga harus memusatkan perhatian pada kemampuan orang yang kita kritik. Carilah satu kelebihan dalam diri orang tersebut. Walaupun tampaknya dimata kita kemampuannya kecil/sepele dan kita masih bisa jauh lebih baik dari orang tersebut. Namun, cobalah bertanya pada diri sendiri, bagaimana bila kita berada di posisi orang yang kita kritik, tanpa mempertimbangkan sedikitpun,  kebenaran dan kemampuannya?
Kita juga harus memeriksa kembali apa motif kita mengkritik (tanyakan dengan jujur pada diri sendiri). Dan tanyakan juga apa keuntungan yang kita raih setelah mengkritik dan mencari-cari kesalahan orang lain. Karena, apabila yang namanya kritik itu, hanyalah sebuah upaya untuk menonjolkan konsep tentang diri sendiri.  Atau kadang untuk membuktikan bahwa kita lebih pintar dari orang yang kita kritik (yang kita cari-cari kesalahannya, kelemahannya). Jika motif kita seperti itu, maka segeralah berhenti untuk mengkritik dan mencari-cari kesalahan orang lain. Ketahuilah, tidak ada orang yang luput dari salah dan khilaf, dan begitupun diri kita.
Daripada kita terus menerus menyibukkan dan melelahkan diri kita dengan mengorek-ngorek dan mencari-cari kesalahan dan kelalaian orang lain, yang bisa kita jadikan senjata untuk menyerangnya, bukankah lebih baik kita berpikir positif. Coba tanyakan dengan jujur pada diri kita sendiri, sudah mampukah kita berbuat lebih baik dari orang yang kita kritik atau kita cari-cari kesalahannya? Caranya hanya satu, yakni dengan pembuktian,lakukanlah ”sama persis” ”segala hal” yang dilakukan orang yang kita cari-cari kesalahannya. Kita buktikan pada diri sendiri dan dunia, apakah kita bisa melakukannya sama dengan orang yang kita cari-cari kesalahan/ kekurangannya, atau kita bisa melakukannya lebih baik dari orang tersebut? Semua ini hanya bisa diketahui dengan ”pembuktian”.
Istilahnya, jangan cuma sekedar bisa meng-kritik atau mencari-cari kesalahan orang lain saja, coba lakukan terlebih dahulu, semua hal”  yang dilakukan orang yang kita kritik atau yang kita cari-cari kesalahannyakemudian lihat hasil yang kita capai, apakah hasil yang kita capai lebih baik darinya, sama dengannya atau lebih buruk darinya? Mampukah kita berbuat seperti dia, sebaik dia, atau lebih baik dari dia? Dan kalaupun ternyata kita memang mampu berbuat lebih baik daripada orang yang kita cari-cari kesalahannya/kritik, maka bersyukurlah, jangan sampai hal tersebut  menjadikan kita takabur dan tidak berarti hal tersebut membolehkan kita meneruskan mencari-cari kesalahan orang lain.
Seorang ahli filsafat berkata, aku tidak pernah menyesali apa yang tidak aku ucapkan, namun aku sering sekali menyesali perkataan yang aku ucapkan. Ketahuilah, lisan yang nista lebih membahayakan pemiliknya daripada membahayakan orang lain yang menjadi korbannya. 
Kita sebagai manusia tidak berhak untuk mencari-cari kesalahan orang lain lalu menyebarkannya apalagi berusaha mempermalukan orang tersebut didepan umum, dengan menggunakan ilmu/kepandaian kita. Bagi seorang manusia yang senantiasa merasa diawasi oleh Tuhan, wajib mengerti bahwa “perkataan” itu termasuk ibadah yang kelak akan dinilai  baik maupun buruk. Karena pena Tuhan tidak meng-alpakan, tidak pernah lalai ataupun menghapuskan satupun perkataan yang diucapkan manusia. Ia pasti mencatat dan memasukkannya ke dalam buku catatanNYA.  Ingatlah bahwa semuanya, kelak harus kita pertanggungjawabkan.

Menyampaikan Kritik Yang Baik


Manusia, memang makhluk yang unik. Keunikan itu berbeda antara satu individu dengan individu yang lainnya. keunikan itu pula yang menciptakan perbedaan antar manusia. Perbedaan dalam banyak hal, sehingga tidak ada manusia yang sama di dunia ini (bahkan seorang yang kembar identik pun pasti punya perbedaan).
Adanya perbedaan, menimbulkan pemenuhan kebutuhan tiap individu pun berbeda, cara memenuhi kebutuhan, keinginan, impian dan lain sebagainya. Perbedaan ini pula yang mempelopori lahirnya kritikan. Kritik terjadi setelah seseorang melakukan suatu perilaku, berbicara, berbuat atau mengambil kebijakan tertentu. Kemudian orang lain pun melakukan penilaian. Ketidaksesuaian apa yang diinginkan oleh pengkritik dengan apa yang dilakukan oleh obyek yang dikritik inilah yang menimbulkan kritik. Entah pada bagian salah dalam menempatkan, salah dalam melakukan, salah intrepretasi, atau terkena sistem penilaian orang lain dalam perspektif yang berbeda.
Walaupun apa yang dilakukan orang tersebut benar. Tetapi seseorang jelas mempunyai hak untuk melakukan penilaian. Yang menjadi masalah adalah ketika kritik ini tidak disampaikan secara baik, atau tidak etis. Kritik ini disampaikan secara tidak etis, dikarenakan beberapa hal :
1. Penyampaiannya secara emosional, semau yang berbicara, tanpa memperdulikan sejauh mana tingkat penerimaan orang yang dikritik itu terhadap kritikan.
2. Tidak ada pendasaran. Kritikan yang diberikan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, orang yang memberikan kritikan hanya bisa mengucapkan salah, tidak cocok, tidak setuju, menolak tanpa memberikan pendasaran yang jelas.
3. Pengkritik tidak suka atau benci dengan obyek yang dikritik, sehingga pengkritik selalu berusaha untuk menjatuhkan orang yang dikritik.
4. Tidak memperdulikan bahwa orang lain pun punya perasaan. Kritik pedas yang terlalu berlebihan sehingga membuat obyek yang dikritik menjadi malu, under estimate, tidak percaya diri bahkan mengalami traumatik.
5. Kritik cenderung menyalahkan orang lain, disampaikan dengan amarah, membabi buta.
Kritikan yang semacam itu harusnya dihindari. Kritikan yang tidak etis merupakan pemicu utama terjadinya konflik. Jika kita kembali pada tujuan diberikannya kritik, seharusnya kritik adalah suatu pendapat yang ditujukan untuk perbaikan diri sehingga baik si pengkritik maupun orang yang dikritik mampu melahirkan karya yang lebih baik dan menjadi berkepribadian lebih baik lagi.
Sayangnya banyak orang yang tidak berpijak dengan hal itu, sekali lagi mereka lebih menggunakan gaya kritik yang tidak etis ketimbang mematuhi etika yang berlaku. Hal ini sepertinya sejalan dengan budaya orang Indonesia pada umumnya yang cenderung emosional dan menggunakan perasaan, sehingga tidak rasional.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan, nilai-nilai moral dan kesopanan yang telah memudar serta penguasaan terhadap kecerdasan IESQ tidak seimbang dapat dijadikan alasan mengapa banyak orang pada akhirnya menyampaikan kritik secara tidak baik.
Lalu, bagaimana seharusnya kritik yang baik itu disampaikan. Menurut Saya ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk menyampaikan kritik yang baik.
1. Kritik disampaikan secara obyektif. Artinya kritik tidak memandang subyektif (orang yang akan dikritik), siapapun orangnya walaupun itu presiden sekalipun layaknya juga dikritik ketika ia melakukan kesalahan. Pun juga kritik yang obyektif adalah kritik yang sesuai dengan realitas yang terjadi, akan menjadi kritik yang tidak obyektif apabila kritik itu tidak sesuai dengan realitas.
2. Kritik disertai pendasaran dan tidak disampaikan secara emosional. Maksudnya dalam menyampaikan kritik disertai alasan-alasan yang jelas mengenai kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang yang dikritik. Kalaupun kritik itu adalah sebuah penilaian juga diberikan argumen yang benar.
3. Kritik seharusnya disertai pula dengan solusi atau saran dan disampaikan dengan bahasa atau tutur kata yang baik sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain.
Dengan cara demikian, setidaknya perbedaan dalam pemikiran, menyampaikan gagasan dan mengungkapkan pendapat tidak seharusnya menimbulkan perpecahan antar individu apalagi sampai menjadi konflik antar golongan. Ada baiknya setelah kritik itu disampaikan tidak menjadi berlarut-larut, selesai sampai disitu dan tidak menjadi panjang diluar forum.
Memang menjadi hak orang yang dikritik sepenuhnya apakah akan menerima kritik dan saran itu atau tidak. Tetapi semestinya ketika kritikan itu adalah sebuah kebenaran, layaknya diterima dengan lapang dada dan dijalankan. Negara kita menjamin warga negaranya untuk bebas berbicara, akan tetapi juga ada tata aturannya. Tata aturan itulah yang juga harus dijalankan dalam menyampaikan kritik baik oleh orang yang mengkritik maupun obyek yang dikritik.

KUTUKAN SUMBER DAYA ALAM

Suatu negara yang dilimpahi dengan sumber daya alam yang besar, cenderung tidak bisa maju secara berkelanjutan, ini yang disebut dengan teori "kutukan sumber daya alam," pertama kali di sampaikan oleh Richard Auty pada tahun 1993, hal ini di sampaikan untuk menggambarkan Negara-negara yang kaya akan sumber daya alamnya khususnya sumber daya terbarukan seperti mineral dan minyaknya, tapi tidak bisa menggunakan kekayaan tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Karena sumber daya alam yang berlimpah sekalipun, jika tidak digunakan secara hati-hati justru bisa menjadi kutukan ketidakmajuan. Sumber daya alam yang berlimpah dapat sangat membuai dan membuat kita terlena. "Buktinya ada, misalnya saja yang terjadi pada negara yang dilimpahi oleh minyak, permata, mineral berharga tinggi, karena penduduknya tidak terlalu banyak maka mereka mengandalkan hanya pada menjual sumber alamnya". Masih menurut teori tersebut, sumber daya alam yang berlimpah bukan hanya membuat malas, tapi juga membuat paradigma kehidupannya terdistorsi. "Dalam kegiatan ekonomi, dimana sumber alam melimpah orang akan berebut apa yang ada dan tidak mau menciptakan apa yang belum ada. Saya hanya mengingatkan ini, Bisa setuju bisa tidak. Tapi ini untuk mengingatkan bahwa peran paten, hak cipta itu sangat penting dalam jangka panjang. Sekarang kita bisa hidup dengan sumber alam tapi itu tidak akan lestari. Strategi terbaik bagi negara yang kebetulan dilimpahi sumber daya alam, adalah menggunakan dengan sebaik-baiknya dan menyiapkan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif, itu yang jadi landasan kemajuan bangsa kita. Kalau sumber daya alam ini tidak bisa ditransformasikan menjadi kemampuan kreatif sumber daya manusia, maka bangsa akan gagap.
Istilah ini mengemuka lagi dalam sebuah tulisan yang di sampaikan oleh Amar Toor yang berjudul “Jackpot or Jinx?” yang di publikasikan pada tanggal 13 September 2010 kemarin di dalam sebuah website. Setelah terjadi kehebohan dari tim geologis Amerika Serikat bahwa ia menemukan mineral baik emas tembaga, lithium, cobalt yang nilainya US$ 1 trilyun di Afganistan
Beberapa kalangan berpendapat ini akan menjadi titik balik sejarah dan mengubah Negara Afganistan dari keterpurukan karena perang menuju modernitas. Mengubah perekonomian Afganistan dari agraria menuju Industri. Dan akan meningkatkan taraf hidup masyarakatnya serta akan menyerap banyak tenaga kerja.
Tapi beberapa kalangan juga pesimistis negera ini akan mampu memberdayakan sumber dayanya karena perselisihan dan konflik di internal Afganistan sendiri yang belum selesai serta korupsi yang sudah merajalela selama bertahun-tahun. Beberapa pengamat mengkhawatirkan Negara Afganistan ini akan mengikuti jejak Negara negara kaya sumber daya alam lainnya seperti Republik Kongo yang tidak pernah sepi dari pergolakan internal dan keadaan Negara yang tidak pernal stabil.
Banyak penelitian, termasuk salah satu nya Jeffrey Sachs dan Andrew Warner. Ia telah menunjukkan hubungan antara kelimpahan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi munuju kemiskinan. Hal ini di duga karena berbagai alasan termasuk penurunan daya saing sektor ekonomi maupun pemerintahnya yang salah mengurus sumber dayanya, lemah, tidak efektif, lembaga yang tidak stabil dan rusak. Beberapa berpendapat juga menyampaikan bahwa aliran keuangan dari bantuan luar negeri dapat menimbulkan efek yang mirip dengan kutukan sumber daya.
Sumber daya alam yang berkelimpahan juga dapat memprovokasi masyarakat dalam konflik. Sebagaian kelompok akan melakukan konflik separatis atau pemisahan dengan kelompok lainnya baik secara terbuka seperti di Angola maupun sembunyi-sembunyi, seperti perselisihan antar department dalam pemerintahan dalam upaya mendapatkan kontrol atas sumber daya tersebut.
Bagaimana dengan INDONESIA..Apakah masuk dalam kategori negara kutukan ??

Rabu, 23 Mei 2012

Peran Pemuda dalam Pembangunan Masyarakat & Daerah

Sekolah Kartini di Malang Jawa Timur 1930

Pemuda/pemudi merupakan suatu identitas dan penerus perjuangan generasi terdahulu untuk mewujukan cita-cita bangsa.  Pemuda menjadi harapan dalam setiap kemajuan di dalam suatu bangsa, Pemuda lah yang dapat merubah pandangan orang terhadap suatu bangsa dan menjadi tumpuan para generasi terdahulu untuk mengembangkan suatu bangsa dengan ide-ide ataupun  gagasan yang berilmu, wawasan yang luas, serta berdasarkan kepada nilai-nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Pemuda-pemuda generasi sekarang sangat berbeda dengan generasi terdahulu dari segi pergaulan atau sosialisasi, cara berpikir, dan cara menyelesaikan masalah. Pemuda-pemuda zaman dahulu lebih berpikir secara rasional dan jauh ke depan. Dalam arti, mereka tidak asal dalam berpikir maupun bertindak, tetapi mereka merumuskannya secara matang dan mengkajinya kembali dengan melihat dampak-dampak yang akan muncul dari berbagai aspek. Pemuda zaman dahulu juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Contohnya saja, sejarah telah mencatat kiprah-kiprah pemuda Indonesia dalam memerdekakan Negara ini. Bung Tomo, Bung Hatta, Ir. Soekarno, Sutan Syahrir, dan lain-lain rela mengorbankan harta, bahkan mempertaruhkan nyawa mereka untuk kepentingan bersama, yaitu kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan pemuda zaman sekarang, masih terkesan acuh terhadap masalah-masalah sosial di lingkungannya. Pemuda-pemuda saat ini telah terpengaruh dalam hal pergaulan bebas, penyalahgunaan narkotika, kenakalan remaja, bahkan kemajuan teknologi pun yang seharusnya membuat mereka lebih terfasilitasi untuk menambah wawasan ataupun bertukar informasi justru malah disalahgunakan. Tidak jarang kaum-kaum muda saat ini yang menggunakan internet untuk hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan seorang pemuda, seperti membuka situs-situs porno dan sebagainya.
Peranan pemuda saat ini dalam sosialisasi bermasyarakat menurun drastis. Mereka lebih mengutamakan kesenangan untuk dirinya sendiri dan lebih sering bermain-main dengan kelompoknya. Padahal, dulu biasanya pemuda lah yang berperan aktif dalam menyukseskan kegiatan-kegiatan di masyarakat seperti acara keagamaan, peringatan Hari Kemerdekaan, kerja bakti dan lain-lain. Seandainya saja pemuda-pemuda zaman dahulu seperti Ir. Soekarno, Bung Hatta, Bung Tomo dan lain-lain masih hidup pasti mereka sedih melihat pemuda-pemuda sekarang ini yang lebih mementingkan kesenangan pribadi. Generasi yang menjadi harapan mereka melanjutkan perjuangan mereka, tidak punya lagi semangat nasionalisme.
Sebagai pemuda kita harus sadar diri Negara ini membutuhkan pendekar sakti untuk  mewujudkan kesejahteraan di lingkungan masyarakat. Mungkin di mata kita pemerintah sendiri tidak cukup baik mengusahakan kesejahteraan bangsa ini, tetapi kita tinggal di negeri ini. Dampak dari baik atau buruknya negeri ini, secara langsung maupun tidak langsung pasti akan berhubungan dengan kehidupan kita di negeri ini. Jadi jangan hanya bisa mengkritik, menyanggah, atau mencela saja, itu semua tidak dapat membangun Negara kita. Tetapi terjunlah langsung seperti bergabung dalam kegiatan politik, organisasi masyarakat, dan sebagainya. Belajarlah untuk peduli terhadap bangsa dan lingkungan sekitar.
Masyarakat masih membutuhkan pemuda-pemudi yang memiliki kematangan intelektual, kreatif, percaya diri, inovatif, memiliki kesetiakawanan sosial dan semangat nasionalisme yang tinggi dalam pembangunan nasional. Pemuda diharapkan mampu bertanggung jawab dalam membina kesatuan dan persatuan NKRI, serta mengamalkan nilai-nilai yang ada di dalam pancasila agar terciptanya kedamaian, kesejahteraan umum, serta kerukunan antar bangsa. Bangun pemuda-pemudi Indonesia. Tanamkan semangat yang berkobar di dadamu. Bersatulah membangun Negara tercinta. Seperti isi sumpah pemuda yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 “satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa”. Semoga Negara kita ini tetap bersatu seperti slogan budaya bangsa yang tercermin dalam Bhineka Tunggal Ika. Berkarya lah pemuda-pemudi Indonesia, Majukan Negara Kita, Jadilah Soekarno dan Moh Hatta berikutnya yang memiliki semangat juang tinggi dalam membangun bangsa.
Demikian sedikit harapanku untuk Pemuda & Pemudi di Kabupaten Bengkayang,dengan intelektual,kreatifitas,percaya diri,inovatif dan berjiwa sosial membangun daerah kita dengan semangat yang tinggi,semoga kedepan Kabupaten Bengkayang menjadi lebih baik.

Selasa, 22 Mei 2012

Menjinakkan Orang-orang Sulit


Orang-orang sulit adalah mereka yang dianggap mengganggu kedamaian dan keindahan hidup kita dalam bekerja, maupun dalam hidup sehari-hari. Biasanya, orang-orang yang kita anggap ‘sulit’ tersebut adalah orang-orang yang sering membuat kita tersinggung, marah, merasa tidak dihargai, dan lain-lain. Sebagai akibatnya, kita kesulitan meningkatkan prestasi karena adanya orang-orang tersebut.

Seringkali julukan ‘orang-orang sulit’ sebenarnya hanya penilaian subyektif yang kita berikan kepada orang lain. Semuanya kembali berpulang kepada diri kita; apabila sebagai seorang karyawan profesional kita belajar melihat segala sesuatu dengan obyektif dan memberikan respon yang positif, saya yakin kita akan bisa menilai dengan lebih akurat.

Kadangkala, yang mempersulit kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri. Sebagai contoh, apabila kita tergolong orang yang kurang disiplin (sehingga tugas-tugas yang kita terima seringkali tidak bisa diselesaikan tepat waktu) sedangkan atasan kita adalah orang yang sangat disiplin (dan selalu menuntut bahwa setiap tugas harus diselesaikan tepat waktu), sekali waktu kita pasti akan menerima teguran. Ketika kita tidak juga menunjukkan perubahan, atasan mengeluarkan Surat Peringatan, bahkan sangsi. Jika itu yang terjadi, kita tidak bisa berkata bahwa atasan kita ‘orang yang sulit’, karena penilaian yang kita lakukan tidak lagi obyektif, melainkan sebaliknya. Karena itu, sebelum membuat penilaian kita perlu berkaca lebih dahulu dan melihat di mana letak sumber persoalannya; apakah memang di dalam diri orang lain, atau justru kita-lah ‘biang kerok’nya.

Mengapa menjadi ‘orang sulit’?
Penyebab yang pertama adalah karakter atau pembawaan orang yang bersangkutan.

Selain itu, bisa juga disebabkan karena orang tersebut (mungkin) sedang melakukan ‘tindakan balas dendam’; mungkin di waktu lampau ia pernah mengalami perlakuan serupa, entah oleh orang lain atau oleh kita sendiri, dan secara kebetulan ia mendapatkan kesempatan untuk melakukan pembalasan – ini lebih merupakan faktor personal.

Penyebab ketiga adalah karena orang tersebut memiliki kriteria/standar yang cukup tinggi, sehingga kita merasa tidak sanggup memenuhi standar tersebut. Hal itu bisa disebabkan karena standar yang dipatok terlalu tinggi, atau karena kita yang memiliki kualitas terlalu rendah.

Meresponi ‘orang-orang sulit’
Jika secara subyektif kita menganggap orang-orang tertentu sedang mempersulit hidup kita, namun kemudian kita mendapati bahwa yang menjadi sumber kesulitan itu adalah diri kita sendiri, yang perlu kita lakukan adalah berubah. Ketika kita mengubah diri, secara otomatis orang-orang tidak akan mempersulit kita lagi, karena mereka mulai mendapati bahwa kita bisa diajak bekerjasama secara profesional.

Jika penilaian yang kita buat sudah cukup obyektif (dengan kata lain, orang-orang tersebut memang orang yang ‘sulit’), yang perlu kita lakukan adalah bersikap kepada mereka dengan cara yang sama seperti kita menghendaki mereka memperlakukan kita. Dengan berbuat demikian, kita seperti sedang menaburkan benih yang diharapkan dapat bertumbuh dan akhirnya dimunculkan oleh orang yang bersangkutan.

Menyadarkan ‘orang-orang sulit’
Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan: pertama, kita langsung berbicara kepada orang tersebut dan memberitahunya bahwa apa yang ia lakukan sering menyulitkan kita, bahkan teman-teman yang lain. Jika kita berbicara dengan terbuka dan jujur, dan kita melakukannya berkali-kali, saya percaya ia akan menjadi sadar –sekeras apapun hatinya- kecuali orang itu memang kebal, bebal dan menyebalkan. Kalau itu yang terjadi, berarti orang tersebut bukan hanya sekadar keras kepala, namun juga keras hati.

Jika kita sudah mencoba sendirian namun tidak berhasil, mungkin kita harus memakai cara keroyokan –panggil beberapa teman yang lain, bahkan kalau perlu melibatkan pemimpin- untuk berbicara kepadanya.

Berbicara dari sudut pandang pemimpin, jika pimpinan sudah mengambil keputusan, tidak seharusnya ia mengubah-ubah keputusan, karena hal tersebut dapat menggangu kestabilan kerja orang-orang lain. Tapi saya juga tidak menutup mata bahwa memang ada pemimpin yang gampang sekali berubah pikiran/plin-plan. Ini sangat berbeda dengan orang yang sedang melakukan manuver – orang yang bermanuver akan melakukannya dengan tujuan yang jelas. Kadangkala, ada orang-orang yang memang suka ‘banting setir’ tanpa alasan jelas; ia melakukannya karena merasa memegang kendali. Kalau itu yang terjadi, sebagai karyawan kita perlu belajar mengenali sifat pemimpin dan mempersiapkan diri untuk dengan cepat mengikuti manuvernya.

Pahami bahwa setiap pemimpin menetapkan standar dengan sebuah alasan; standar yang ditetapkan pasti bertujuan untuk memajukan perusahaan yang ada. Itu sebabnya kita perlu belajar untuk memenuhi standar, karena dengan begitu kita sedang menunjukkan keprofesionalan kerja.

Sebenarnya, menyampaikan teguran adalah hal yang wajar untuk dilakukan oleh siapa saja; yang perlu kita perhatikan adalah batasan etika. Bagaimanapun juga, pemimpin berada dalam posisi yang lebih tinggi dari karyawan, sehingga sudah seharusnya seorang karyawan menghargai atasannya. Kalaupun seorang karyawan memberi teguran pada atasan, seyogianya ia menegur dengan cara yang terhormat dan dengan sikap yang menghargai, sehingga atasan membuka hati dan mendengar apa yang dikatakan oleh bawahan. Alasan mengapa ada pemimpin yang menjadi tersinggung ketika menerima teguran dari orang di bawahnya adalah karena cara penyampaian yang kurang sopan atau kurang hormat, sehingga menyinggung harga diri dari atasan tersebut. Jika kita berbicara dengan tutur kata yang sopan, pemilihan kata yang baik serta intonasi yang tepat, saya yakin orang yang kita ajak berbicara pasti akan membuka diri terhadap kita.

“Sayalah orang sulit itu!”
Jika kita mendapati bahwa ternyata kita-lah si orang sulit, terus tunjukkan perubahan yang harus kita munculkan. Dengan mulai menyadari bahwa diri kita adalah sumber masalah, secara otomatis kita akan mulai memikirkan apa yang harus dilakukan agar tidak lagi dianggap sebagai ‘orang sulit’. Tulis semua masukan yang kita terima dari teman maupun orang terdekat kita dan mulailah kaji secara obyektif. Kemudian mulailah merancang gaya hidup yang harus kita jalani dan ambillah tindakan tegas untuk mewujudkannya.

Menjinakkan ‘orang-orang sulit’
Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah belajar memahami orang yang bersangkutan – apa yang menjadi alasan ia berperilaku seperti itu; apakah karena konflik batin, sifat bawaan, atau karena standar yang terlalu tinggi. Setelah itu, cobalah menempatkan diri kita untuk berfungsi dan memenuhi apa yang ia harapkan. Dengan terus menaburkan benih-benih pengertian, saya yakin akan tiba waktunya orang lain dapat memahami kita juga.

Jangan terburu-buru menjatuhkan penilaian terhadap seseorang. Belajarlah untuk berdiam diri dan mengevaluasi terlebih dahulu, apakah penilaian yang kita berikan tersebut sudah obyektif, atau justru sebaliknya. Jika ternyata sifatnya subyektif, berarti masalahnya justru terletak pada diri kita; berubahlah! Ketika Anda berubah, orang tersebut secara otomatis akan menunjukkan perubahan terhadap Anda juga. Jika penilaian Anda sudah obyektif, belajarlah untuk memahami orang tersebut dan jadilah sosok seperti yang diangankan oleh orang yang Anda anggap ‘sulit’ itu. Dengan begitu, saya yakin hubungan satu sama lain akan semakin bertambah baik, demikian pula halnya dengan kinerja tim dan perusahaan. Ketika hal itu terjadi, kesuksesan menjadi semakin dekat dengan Anda.
Penulis : Steven Agustinus 

Perencanaan Untuk Meraih Sukses

 
"Orang yang gagal membuat perencanaan adalah orang yang sedang merencanakan kegagalannya sendiri."
Sebagai orang yang hidup di masa kini dan memiliki masa depan, adalah sebuah keharusan bagi kita untuk membuat perencanaan dalam berbagai aspek kehidupan.Ada beberapa faktor mendasar yang menyebabkan seseorang menjalani hidup tanpa perencanaan.
Faktor pertama adalah tidak adanya keluarga atau figur yang diteladani. Apabila seseorang melihat ayah atau ibunya (bahkan saudara-saudaranya) hanya sekedar menjalani hidup tanpa pernah membuat perencanaan, ia pun akan mulai terkondisikan untuk sekedar menjalani hidup belaka. Tapi akan berbeda jika ia memiliki orangtua atau saudara yang ‘well-planned' (merencanakan segala sesuatu dengan matang dan rapi).
Dengan sendirinya ia akan mulai membuat perencanaan untuk memastikan agar perkembangan yang diharapkan dapat tercapai di waktu-waktu mendatang.Selain faktor keluarga, ada pula faktor komunitas (orang-orang yang memberi pengaruh di sekitar kita).
Jika seseorang bergaul dengan orang-orang yang hanya menjalani hidup belaka, tanpa disadari pola pikir, filosofi dan cara hidup dari orang-orang di sekelilingnya biasanya akan mulai mempengaruhi orang yang bersangkutan. Itu sebabnya, sangat penting untuk memperhatikan dengan siapa kita bergaul, karena jika kita sungguh-sungguh ingin meraih kesuksesan, perencanaan adalah sesuatu yang sifatnya wajib. Apabila kita rela bersusah-payah membangun dan merencanakan hidup kita pada saat ini, di kemudian hari kita justru akan menikmati seluruh usaha dan kerja keras kita. Karena itu, pastikan Anda terus belajar untuk membuat perencanaan dalam setiap aspek kehidupan dengan teratur dan rapi. Anda tidak akan pernah menyesali rancangan tersebut.Faktor ketiga adalah faktor mentalitas.
Mereka yang memiliki keluarga atau bergaul dengan orang-orang yang hanya sekedar menjalani hidup, tanpa sadar akan memiliki konsep pikir, pola hidup, filosofi dan mentalitas sebagai seorang survivor belaka. Dengan kata lain, keinginan dan mentalitas untuk meraih sesuatu tidak ada lagi dalam diri mereka. Orang-orang seperti ini tidak akan bisa hidup di tengah tekanan dan tantangan, sehingga tanpa disadari, perlahan tapi pasti ia akan mulai tergeser dari area persaingan yang ada.
Orang seperti ini biasanya mudah sekali menjadi down, karena -di sisi lain- tidak ada orang yang tidak ingin menjadi lebih baik. Masalahnya, menjadi lebih baik dalam hidup ini tidak akan terjadi dalam sekejap mata. Dibutuhkan usaha, disiplin diri, kerja keras serta perencanaan yang harus dijalani dengan baik dan konsisten. Contohnya, setiap orang pasti menghadapi tantangan atau tekanan tertentu di tempat kerja. Biasanya, orang-orang yang hanya menjalani hidup semata tidak akan pernah betah berada di sebuah pekerjaan/perusahaan yang menetapkan target atau memberikan tekanan tertentu. Ia akan lebih memilih untuk tinggal di zona nyaman. Sebagai akibatnya, ia akan mulai tergeser dari persaingan yang ada dan pada akhirnya tidak mampu bertahan.Faktor keempat adalah kondisi hati; di mana ini merupakan faktor yang sangat penting. Bagi orang-orang tertentu yang pernah membuat perencanaan dan mengalami kegagalan, trauma dan kefrustrasian dapat menjadi sebuah penghalang.
Selama kondisi hati seperti ini tidak ditanggulangi, biasanya orang-orang tersebut tanpa sadar akan terkondisikan untuk hanya menjalani hidup sebagaimana adanya. Kalaupun ada orang lain yang berusaha untuk memacu dirinya, ia akan cenderung untuk terus mengingat kembali kegagalannya di masa lalu, sehingga ia tidak memiliki daya dorong yang dibutuhkan untuk mengambil langkah baru. Seandainya orang yang bersangkutan mau menanggulangi kefrustrasian, trauma dan perasaan gagal yang selama ini menguasainya, ia akan bisa membuat perencanaan bagi hidupnya, sehingga pada akhirnya ia dapat menjadi bagian dari orang-orang sukses.Sebenarnya, ada banyak orang yang memiliki kemampuan yang cukup baik untuk membuat perencanaan. Sayangnya, kemampuan merencana yang baik itu tidak didukung oleh drive atau daya dorong untuk mewujudkan rencana tersebut, sehingga pada akhirnya rencana hanya tinggal rencana. Seringkali penyebabnya adalah karena orang yang bersangkutan cenderung memiliki mentalitas yang menginginkan segala sesuatunya sudah tersedia sehingga ia tinggal melangkah.
Orang yang memiliki mentalitas ‘cari gampang' seperti ini tidak mau mencari tahu apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan kapasitasnya. Kalaupun ia berusaha, ia ingin langsung melihat hasil usahanya pada hari yang sama. Sebagai akibatnya, jika ia tidak mendapati hasil yang diharapkan, apa yang sudah ia rencanakan hanya akan tertinggal di atas kertas belaka - tidak terwujud dalam tindakan nyata. Dalam hal ini, mau tidak mau mentalitas dan pola pikir orang yang bersangkutan harus diubah terlebih dahulu.Jika seseorang memiliki komunitas yang kurang mendukung dan mentalitasnya belum terbangun untuk membuat perencanaan, orang seperti itu seperti berada dalam ‘lingkaran setan'; ia tidak memiliki faktor pendukung, tekad yang besar, kemampuan untuk merencana, atau persiapan apapun.
Untuk bisa meninggalkan hal-hal negatif tadi dan membuat perencanaan untuk meraih sukses, hal pertama yang dibutuhkan adalah mentor. Ketika ada seseorang yang bisa menjadi mentor dalam hidupnya, ia akan bisa menerima arahan dan dibawa melewati suatu proses persiapan. Melalui hal-hal ini, tekad dan kesungguhan untuk melangkah akan menjadi jauh lebih mudah dibangun.
Dengan demikian, meskipun ia tidak berada di lingkungan yang kondusif, setidaknya ia memiliki seseorang yang mengharapkan dan terus mendukung dia untuk menjadi berhasil. Selama masih ada helping hand, masih ada harapan bagi orang yang berada dalam ‘lingkaran setan', asalkan orang yang bersangkutan bersedia menyambut helping hand itu. Selama masih ada orang yang mau menolong -dan orang yang ditolong mau meresponi dengan baik- akan selalu ada hasil.
Seringkali seseorang mendapati 1 fase dalam hidup ini di mana Tuhan ikut campur tangan dengan cara mengirimkan orang lain untuk menolong dirinya. Ketika ia tidak meresponinya dengan baik, kesempatan itu berlalu dan akhirnya penyesalan lah yang timbul. Karenanya, pastikan Anda terus belajar meresponi setiap pertolongan yang datang. Mungkin pertolongan itu kadang kala menyinggung ego atau harga diri kita, tetapi pada akhirnya pertolongan itu akan menolong diri kita sendiri.
Indikator penguji
Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menguji apakah perencanaan yang kita buat sudah cukup baik. Yang pertama, apakah perencanaan tersebut sudah cukup detil dan sistematis? Semakin detil dan sistematis perencanaan yang kita buat, semakin baik perencanaan tersebut.Indikator yang kedua adalah perencanaan yang jauh ke depan; bukan hanya sekedar dari hari ke hari, melainkan untuk 1 atau 2 tahun ke depan, atau (minimal) setengah tahun ke depan. Ketika kita mengetahui apa yang akan dicapai setengah tahun ke depan, dengan sendirinya langkah-langkah yang akan kita ambil setiap hari (minggu, bahkan bulan) akan menjadi sangat sistematis dan detil.Indikator ketiga, apakah perencanaan itu cukup realistis?
Sebuah perencanaan yang tidak realistis secara otomatis akan berakhir pada kegagalan. Lalu, indikator terakhir dari perencanaan yang baik adalah perencanaan yang ‘rangkap' - dengan kata lain, jika plan A gagal, kita memiliki plan B. Semua orang bisa membuat perencanaan. Selama ia tahu dengan pasti apa yang ingin dicapai, ia hanya perlu belajar memahami langkah-langkah untuk menggapai apa yang ingin diraihnya. Ketika ia mulai melakukan langkah-langkah tersebut, tanpa disadari sebenarnya ia sedang membuat perencanaan.
Semua manusia punya kemampuan untuk membuat perencanaan. Tuhan menganugerahkan otak yang dilindungi oleh tempurung kepala yang sangat keras dengan tujuan agar kita bisa mempergunakan otak untuk merencanakan/merancang apa yang ingin kita raih di waktu mendatang. Contoh yang paling sederhana dalam membuat perencanaan adalah ibu-ibu rumah tangga yang membuat planning menu selama seminggu ke depan. Contoh lainnya yang seringkali alpa dilakukan dan membawa efek negatif di kemudian hari adalah perencanaan dalam menggunakan uang. Jika kita tidak membuat perencanaan dengan baik, maka gaji sebulan bahkan THR yang baru kita terima dapat habis hanya dalam seminggu. Padahal, jika kita bisa membuat perencanaan dengan baik dan tidak lupa menabung, pengelolaan keuangan kita pasti akan lebih teratur dan terencana.
Contoh yang lain lagi adalah dalam hal keluarga. Pasangan muda yang baru menikah biasanya tidak merencanakan kapan mereka akan memiliki anak. Dengan adanya desakan dari orangtua atau keluarga, biasanya mereka memilih untuk cepat-cepat memiliki anak. Padahal, memiliki anak di jaman sekarang juga berarti peningkatan dalam hal pengeluaran, apalagi dengan bertambahnya usia anak. Kita pasti tidak ingin menyekolahkan anak di sekolah yang ‘asal-asalan'. Masalahnya, sekolah yang baik tidak ada yang murah. Itu berarti, kita harus membuat perencanaan dari awal: apakah secara ekonomi kita sudah cukup mapan untuk mempunyai anak, atau apakah anak kita sudah cukup siap untuk mendapatkan adik? Tanpa perencanaan yang baik, ini semua justru akan menjadi beban bagi kita sendiri, dan kondisi perekonomian pun tidak kunjung menjadi mapan karena banyaknya tanggungan yang harus dipikul sementara pemasukan kita masih terbatas.Inilah yang sering menjadi alasan mengapa banyak orang masih menjalani kehidupan yang begitu-begitu saja, atau bahkan lebih buruk, ditambah dengan adanya inflasi, resesi dan krisis ekonomi yang semakin memberatkan.
Saya pribadi sudah menikah selama 8 tahun, tapi saya baru memiliki 1 orang anak. Bukan karena kami tidak bisa atau tidak mau, tetapi karena kami merencanakannya. Saya menghendaki anak saya lahir ketika kondisi perekonomian kami sudah lebih mapan sehingga kami tidak akan ‘terbebani' oleh anak kami, dan di sisi lain anak kami pun tidak akan terlunta-lunta.
Faktor penyebab kegagalan
Ada 5 hal yang dapat menyebabkan seseorang gagal melaksanakan rencana yang disusunnya. Yang pertama adalah kurangnya tekad dan kekonsistenan. Setelah membuat perencanaan, orang yang bersangkutan harus belajar mendisiplin diri sendiri untuk melakukan setiap langkah yang sudah ia rencanakan dengan detil dan konsisten, sehingga apa yang dilakukannya dapat terus mengalami peningkatan. Tanpa tekad, konsistensi dan disiplin, kita tidak akan pernah bisa melihat sebuah rencana terwujud dalam realita.Penyebab kedua adalah kurangnya persiapan. Kadang kala kita sudah merencanakan sesuatu dengan baik, tapi gagal di tengah jalan karena tidak adanya persiapan.
Penyebab ketiga adalah kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat, seperti suami atau isteri, anak-anak maupun keluarga. Kadang, kurangnya dukungan bisa melemahkan fighting spirit yang kita miliki sehingga membuat kita gagal meraih rencana.
Yang keempat adalah mentoring. Seringkali seseorang gagal mewujudkan rencana karena ia tidak memiliki mentor yang bisa memberi arahan, menolong untuk menetapkan langkah-langkah persiapan ataupun menerapkan pendisiplinan pribadi atas hidup orang yang bersangkutan.Penyebab yang terakhir adalah campur tangan Tuhan, seperti yang terdapat dalam istilah ‘Manusia merencana, Tuhan juga yang menentukan'. Itu sebabnya, kita perlu terus belajar membangun kerohanian dan keimanan kita, sehingga campur tangan Tuhan bisa terus nyata dalam hidup kita. Mungkin orang menyebutnya sebagai keberuntungan, namun sesungguhnya keberuntungan itu sendiri merupakan pekerjaan Tuhan yang Ia lakukan secara diam-diam.Jenis mentalitas yang dibutuhkan untuk mencapai apa yang kita rencanakan adalah kekonsistenan dan fighting spirit - diperlukan adanya driving force yang tidak akan padam oleh situasi dan kondisi di sekitar kita.
Selain itu juga dibutuhkan tekad yang besar, sehingga apa yang sudah kita rencanakan akan bisa terwujud. Untuk bisa membangun mentalitas seperti ini amat diperlukan peran seorang mentor, apalagi jika keluarga kita tergolong orang-orang yang sekedar menjalani hidup belaka, sehingga tidak ada figur yang bisa kita teladani guna mengadopsi semangat dan tekadnya. Dengan adanya seorang mentor yang sudah terbukti berhasil, kita bisa dengan mudah terinspirasi untuk meniru keberhasilan dan apa yang ia lakukan dalam meraih pencapaian tersebut.
Selain itu, kita juga membutuhkan adanya orang-orang maupun resources yang bisa memberikan input inspirasional dalam hidup kita. Selanjutnya, kita membutuhkan komunitas yang mendukung. Dengan adanya ketiga hal ini, akan jauh lebih mudah untuk membangun dan memiliki mentalitas seorang pejuang, sehingga apapun yang kita rencanakan pasti bisa terwujud.
 
Perencanaan yang ideal
Untuk memastikan apa yang kita rencanakan dapat selalu terwujud, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan:Pertama, kita perlu mengenali posisi atau keberadaan kita yang sekarang, serta goal atau tujuan yang ingin dicapai. Tanpa mengetahui dengan pasti kondisi dan tujuan yang ingin diraih, perencanaan yang kita buat akan sia-sia, karena tidak ada kejelasan mengenai goal dan titik awal untuk mulai melangkah.Kedua, kita harus bersikap realistis; jangan membuat perencanaan yang muluk atau berlebihan. Buatlah perencanaan serealistis mungkin.Yang ketiga, pastikan kita melakukan perencanaan sedetil dan sesistematis mungkin.
Semakin detil perencanaan kita, peluang perwujudan rencana tersebut menjadi semakin besar.Keempat, kita perlu membuat beberapa perencanaan dengan tujuan yang sama - inilah yang disebut sebagai ‘perencanaan rangkap.'Kelima, pastikan kita memiliki orang-orang yang dapat memberi input atau masukan kepada kita guna mencapai rencana tersebut.
Semakin banyak orang yang menolong dan mempertajam kita dalam perencanaan yang kita buat, semakin baik rencana tersebut. Bicara tentang perencanaan yang ideal, alangkah baiknya jika kita membuat perencanaan setiap 6 bulan, tapi tujuan besar yang ingin kita raih minimal harus direncanakan untuk 3 atau 5 tahun ke depan.
Sementara itu, tujuan besar yang ingin kita raih tersebut harus mulai di-break down dengan apa yang ingin kita raih setiap tahun atau setiap 6 bulan. Hal ini akan menolong untuk mengevaluasi apakah perencanaan kita berjalan sesuai dengan yang direncanakan, atau justru sebaliknya.
Sebenarnya, selama kita bisa membuat perencanaan serealistis, sedetil dan sesistematis mungkin -apalagi jika kita membuat perencanaan setiap 3 atau 6 bulan dan perencanaan tersebut di-break down lagi menjadi per bulan atau per 2 minggu- akan jauh lebih mudah untuk mengevaluasi apakah perencanaan yang kita buat sudah berjalan dengan baik.
Pastikan Anda merencanakan hidup Anda dengan baik, karena perencanaan yang baik akan menghasilkan kesuksesan yang baik juga. Orang yang gagal membuat perencanaan adalah orang yang sedang merencanakan kegagalannya. ~Penulis : Steven Agustinus

Syarat Perencanaan Yang Baik

a. Rencana harus mempermudah pencapaian tujuan organisasi
Perlu kita ketahui bahwa rencana yang kita susun agar dengan maksud guna mempermudah realisasi pencapaian tujuan dasar organisasi yang sudah dari awal mempunyai visi dan misi bersama yang sudah pasti dan terperinci pelaksanaannya dengan tidak mempersulit tujuan awal dan dasar organisasi.

b. Rencana harus dibuat oleh orang-orang yang benar-benar memahami tujuan organisasi
Dalam pencanangan dan penyusunan rencana tidak boleh dilakukan oleh pihak ekstern dari luar organisasi tersebut karena pihak ekstern tidak seluruhnya mengerti dan memahami tujuan awal, visi, dan misi serta mengenal karakteristik tiap anggota organisasi. Akan tetapi, pihak ekstern dapat kita jadikan sebagai pemrasan dalam penyusunan dengan berbagai pengalaman yang mereka miliki walaupun demikian para anggota lah yang harus benar-benar membuat dan mengambil keputusan karena dianggap lebih tahu seluk beluk dan karakteristik organisasi sehingga tahu planing apa yang tepat untuk organisasinya.

c. Rencana harus dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mendalami teknik perencanaan
Rencana yang baik akan terwujud apabila rencana tersebut dibuat dan disusun oleh orang-orang yang benar-benar tahu dan mendalami daripada teknik pembuatan rencana tersebut karena secara ilmu yang mereka miliki tentu akan menunjang keberhasilan terealisasinya rencana tersebut dan apabila ada kesalahan itu pun hanya kecil kemungkinan dan akan segera teratasi cepat.

d. Rencana harus diteliti secara merinci
Ketelitian dalam penyusunan rencana sangat diperlukan, karena ini menyangkut berhasil tidaknya suatu rencana dalam perealisasiannya. Langkah pertimbangan sebelum perealisasian sangat penting untuk merinci dan menentukan apa saja yang benar-benar diperlukan baik dalam hal perencanaannyanya maupun perealisasiannya.

e. Rencana tidak boleh lepas dari pemikiran pelaksanaan
Rencana yang dibuat harus benar-benar konsisten terhadap tujuan dan tidak lepas dari pemikiran pelaksanaan agar tidak terjadinya penyimpangan dari tujuan awal dan mempercepat proses perealisasian dengan secara efektif dan efisien.


Langkah-Langkah Dalam perencanaan

a. Menyadari adanya peluang
Suatu rencana akan dikatakan berhasil apabila rencana tersebut mampu membaca peluang dan menjawab peluang tersebut dengan jitu. Akan tetapi, hal tersebut tidaklah cukup tanpa didukung oleh keberanian, semangat dan materi yang kita miliki.

b. Menentukan sasaran
Agar rencana yang kita susun dalam perealisasiannya dapat berjalan efektif dan efisien, maka kita harus menentukan point – point dan sasaran yang tepat dan disusun sedemikuan rupa menurut skala prioritas mana yang menunjang keberhasilan suatu rencana dan mana yang tidak.

c. Menentukan anggapan-anggapan (asumsi)
Menentukan anggapan – anggapan atau asumsi dilakukan untuk menghimpun data – data dari berbagai sumber untuk memutuskan apa yang harus dilakukan dan sebagai masukan dalam penentuan arah tindakan.

d. Menentukan arah tindakan
Dalam langkah penyusunan rencana, kita harus tahu bagaimana cara penentuan arah tindakan dari berbagai point yang telah kita susun tersebut secara tepat dengan tidak lepas dari asumsi – asumsi dan apa saja yang harus kita lakukan dari tiap point tersebut, agar dalam perealisasiannya kita tahu apa yang mesti kita perbuat dan hal tersebut dapat mempermudah cara pengerjaannya.

e. Mengevaluasi arah tindakan alternative
Setelah menentukan arah tindakan apa yang harus kita lakukan, kita evaluasi lagi apa saja yang sudah dapat dari point – point diatas dan lebih dipikirkan kembali untuk kedepannya sebagai alternative positif, sebagai masukan maupun pegangan dalam pelaksanaannya.

f. Memilih satu tindakan (mengambil keputusan)
Setelah kita dapatkan point – point dari berbagai pemikiran, asumsi, dan berbagai alternative pemikiran lainnya, selanjutnya diadakan suatu pengambilan keputusan dan alangkah baiknya dalam hal pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah dengan partner maupun anggota yang lain. Langkah pengambilan keputusan dilakukan untuk benar - benar memilih satu tindakan yang dianggap tepat dalam perencanaan, oleh karena itu, diperlukan suatu musyawarah agar keputusan yang diambil ialah benar – benar yang terbaik dan merupakan hasil pemikiran bersama.

g. Merumuskan rencana turunan
Apabila keputusan telah diambil, langkah selanjutnya ialah merumuskan rencana turunan yang dilakukan sebagai alternative kedua dalam perencanaan apabila rencana pertama mengalami masalah dalam pelaksanaannya.

h. Mengurutkan rencana berdasarkan anggaran (skala prioritas)
Langkah terakhir dalam penyusunan rencana ialah mengurutkan rencana berdasarkan anggaran atau skala prioritas agar kita tahu apa saja langkah pertama yang harus kita lakukan agar mudah dalam hal pelaksanaannya dan tidak terjadi bentrok antara rencana satu dengan yang lainnya.