SELAMAT DATANG DI BLOGSPOT BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMERINTAHAN DESA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA KABUPATEN BENGKAYANG

Minggu, 06 Mei 2012

Konsep Membangun Desa versi Bung Hatta


Akhir-akhir ini, seiring dengan pembahasan RUU Desa, orang mulai berbicara kembali soal pembangunan desa. Banyak gagasan bermunculan soal bagaimana membangun desa ini. Salah satunya: gagasan kembali ke desa.
Jauh sebelum kemerdekaan, tepatnya antara 1935-1941, ketika hidup di tengah pembuangan di Digul dan Banda Neira, Bung Hatta sudah menulis banyak soal pembangunan desa. Gagasan Bung Hatta itu tertuang dalam salah satu tulisannya di buku “Beberapa Fasal Ekonomi”.
Hatta membuka uraiannya dengan membahas desa dan kota. Katanya, perbedaan desa dan kota di Indonesia sangat berbeda dengan konsep barat. Salah satu perbedaan utamanya adalah soal kemunculan kota. Di Indonesia, kata Bung Hatta, kota tidak muncul dari proses kemajuan dari masyarakat, melainkan karena tindakan ekonomi dari luar: kolonialisme Belanda.
Dengan demikian, sebagai konsekuensinya, kota-kota di Indonesia sangat terbuka dengan pengaruh dari luar, bahkan mengekorinya. Akibatnya, perbedaan antara desa dan kota pun sangat timpang.
Padahal, jaman itu—sampai sekarang, sebagian besar penduduk Indonesia berada atau bertempat tinggal di desa. Jika diambil perbandingan jaman itu, sekitar 70-80% penduduk Indonesia berada di desa.
Saat itu, selain digerakkan oleh pertanian dan kerajinan, ekonomi desa juga digerakkan oleh perkebunan-perkebunan kolonial. Sebagian masyarakatnya juga adalah separuh kaum tani dan separuh buruh.
Akan tetapi, desa memegang peranan penting: penghasil bahan makanan paling utama. Sementara kota hanya menghasilkan barang berupa pakaian, perhiasan, dan perdagangan.
Saat itu, kata Bung Hatta, tujuan utama penjualan hasil produksi kota adalah desa. Dengan demikian, tingkat kemakmuran rakyat desa sangat mempengaruhi tingkat permintaan terhadap barang-barang produksi dari kota. Artinya: jika orang desa hidup miskin, maka orang kota akan kehilangan pasar.
Di sinilah, saya kira, Bung Hatta berusaha menyimpulkan adanya keterikatan yang sangat rapat antara kehidupan rakyat di desa dan di kota. Di sini pula, menurut saya, Bung Hatta berusaha mencari keterkaitan antara perekonomian desa dan kota.
Jaman itu, sebagian besar produksi Indonesia adalah untuk ekspor. Tapi, seperti ditegaskan oleh Bung Hatta, semuanya itu diproduksi oleh onderneming yang ada di desa-desa. Sementara orang kota hanya kecipratan nilai tambah dari kegiatan transportasi: kereta api, mobil, dan pelabuhan.
Di sini muncul semacam paradoks. Kehidupan orang di desa, jaman itu, sangat sederhana: hanya soal makanan dan (mungkin) sandang. Hal ini berpengaruh pada standar biaya hidup yang sangat rendah pula. Sementara kehidupan di kota sangat mahal, karena ada keharusan membayar ongkos makan, sewa rumah, penerangan, transfortasi, dan lain-lain.
Ini menjadi masalah: orang kota perlu menjual barangnya hingga habis, bahkan dengan harga tinggi, supaya bisa menopang biaya hidupnya. Sementara orang desa tidak memerlukan daya beli yang tinggi untuk menopang hidupnya yang sangat sederhana dan bersahaja itu. Dalam kasus ini, seperti disimpulkan Bung Hatta, barang-barang produksi kota banyak yang tidak terjual.
Ini pula yang menjadi dasar bagi Bung Hatta menolak gagasan idealis kaum aristokrat feudal, yang bermimpi mengembalikan kehidupan desa seperti di jaman abad pertengahan: serba sederhana, subsisten, dan melarat.
Bagi Bung Hatta, solusi pembangunan desa, supaya terhubung dengan kota, adalah merasionalisasi dan mengintensifkan perekonomian desa. Di sini, bagi Bung Hatta, jalan keluar pembangunan di desa adalah modernisasi.
Dengan begitu, dalam konsep Bung Hatta, masyarakat bisa meningkatkan produktifitas, sekaligus mendapat banyak nilai tambah untuk kesejahteraannya, dan hal itu akan menopang pula ekonomi industri di kota yang pasarnya bergantung di desa.
Sebetulnya Bung Hatta membahas soal ini terkait dengan politik harga beras. Tapi, saya akan membahas politik harga beras ala Bung Hatta itu di artikel tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar