Long House/Rumah Panjang |
Berbicara mengenai format otonomi desa sebenarnya tidak dapat lepas dari kajian tentang kewenangan desa. Ada beberapa model distribusi kewenangan berdasarkan kedudukan desa:
1. Apabila desa diberi kedudukan sebagai kesatuan masyarakat (self governing community) yang mengatur dirinya sendiri berdasarkan asal usul dan hak-hak tradisionalnya (kedudukan desa sebagai desa adat) maka kewenangan yang dimiliki oleh desa adalah kewenangan asli berdasarkan asas rekognasi;
2. Apabila desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom (local self government) maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “diserahkan” dari pemerintah, sesuai dengan asas desentralisasi;
3. Apabila desa ditempatkan sebagai unit administratif atau kepanjangan tangan negara (lokal self government) maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “didelegasikan” oleh pemerintah atasannya sesuai asas dekonsentrasi atau tugas pembantuan.
Sejarah pengaturan mengenai desa, kedudukan, dan kewenangannya sangatlah panjang bahkan sudah ada sejak zaman pemerintah Belanda melalui Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) untuk mengatur desa di Jawa dan Madura; serta Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewsten (IGOB) untuk mengatur desa di luar Jawa dan Madura. IGO dan IGOB inilah yang menjadikan bentuk dan corak desa beraneka ragam dengan memiliki ciri-ciri tersendiri.
Pengaturan desa dalam suatu masa “penyeragaman” diatur dengan UU Nomor 5 Tahun 1979. Undang-undang ini menempatkan desa sebagai kepanjangan tangan negara, yang artinya pemerintahan ada di pusat tetapi dilaksanakan di daerah. Kewenangan desa tidak disebutkan secara jelas hanya dinyatakan bahwa kewenangan, hak-hak, dan kewajiban desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas menyebutkan bahwa kewenangan desa adalah kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul, kewenangan yang oleh peraturan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah, serta tugas pembantuan dari Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah. Undang-undang ini mengarah ke otonomi desa tetapi memberikan cek kosong kepada Bupati untuk mengatur desa karena yang memberikan desentralisasi adalah negara bukan kabupaten.
Sedangkan saat ini kewenangan desa berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Menurut Undang-undang ini kedudukan desa menjadi ambivalen dan tidak jelas. Undang-undang ini mempertegas “otonomi asli” sebagai prinsip pemerintahan desa. “Otonomi asli” berarti identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat, tetapi dari kewenangan yang diberikan menunjukkan desa sebagai unit administratif atau satuan pemerintahan, sehingga dapat dikatakan bahwa format otonomi desa menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah berbentuk campuran.
Mengikuti model distribusi kewenangan berdasarkan kedudukan desa, maka hubungan keuangan desa dengan pemerintah juga dibedakan sebagai berikut:
1. Desa kesatuan masyarakat, memperoleh bantuan pemerintah terutama untuk mendukung pengembangan masyarakat;
2. Desa sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom, memperoleh dana alokasi desa secara nasional seperti halnya DAU yang diterima oleh provinsi dan kabupaten/kota yaitu Alokasi Dana desa (ADD);
3. desa administratif, memperoleh bantuan operasional, bantuan pembangunan dan bantuan dalam tugas pembantuan.
Namun demikian, Pendapatan Asli Desa (PADesa) yang terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, serta lain-lain pendapatan asli desa yang sah, juga merupakan sumber pendapatan desa yang diperlukan untuk memperkuat keuangan desa dalam pengelolaan dan pembangunan desa. Oleh karenanya optimalisasi pendapatan asli desa melalui pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi hal yang sangat penting dalam mendukung penguatan PADesa. Jika PADesa bisa ditingkatkan maka desa akan mendapatkan dana pengelolaan dan pembiayaan pembangunan untuk desa tersebut, sehingga akan terwujud kemandirian desa dalam memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas-fasilitas umum di desa. Hal ini akan menjadikan desa untuk tidak hanya menunggu pembangunan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat.
BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes)
BUMDes adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa. BUMDes pada dasarnya merupakan bentuk konsolidasi atau penguatan terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa dan merupakan instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis potensi, yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteran ekonomi masyarakat desa melalui pengembangan usaha ekonomi mereka, serta memberikan sumbangan bagi peningkatan sumber pendapatan asli desa yang memungkinkan desa mampu melaksanakan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara optimal.
Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 dan PP Nomor 72 tahun 2005 diamanatkan bahwa dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan Desa, Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Sebagai ketentuan pelaksanaannnya maka Pemerintah Kabupaten BENGKAYANG telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2007 tentang Sumber Pendapatan Desa, yang secara garis besar berisi:
1. Tujuan BUMDes, adalah untuk:
a. memberdayakan masyarakat perdesaan dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam merencanakan dan mengelola pembangunan perekonomian desa;
b. mendukung kegiatan investasi lokal, penggalian potensi lokal serta meningkatkan keterkaitan perekonomian pedesaan dan perkotaan dengan membangun sarana dan prasara perekonomian perdesaan yang dibutuhkan untuk mengembangkan produktifitas usaha mikro perdesaan;
c. mewujudkan kelembagaan perekonomian masyarakat perdesaan yang mandiri dan tangguh untuk memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat;
d. menciptakan kesempatan berusaha dan mengurangi pengangguran;dan
e. mendorong pemerintah desa dalam menanggulangi kemiskinan.
2. Pembentukan BUMDes
Prisip umum pembentukkan BUMDes:
a. Pemerintah Desa dapat mendirikan BUMDes sesuai dengan kebutuhan desa;
b. Pembentukan BUMDes ditetapkan dengan Peraturan Desa berpedoman pada peraturan perundang-undangan;
c. BUMDes dibentuk berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa, BPD atau masyarakat setempat melalui musyawarah desa, dengan mempertimbangkan:
1) potensi desa yang mendukung BUMDes;
2) keberadaan unit-unit kegiatan usaha ekonomi masyarakat yang dikelola secara kooperatif;
3) kekayaan desa yang sudah dikelola untuk usaha ekonomi desa;
4) Kekayaan desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai bagian dari usaha desa;
5) Ketersediaan sumber daya manusia yang mampu mengelola BUMDes sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat.
Prinsip dasar pembentukan & pengelolaan BUMDes
a. Pemberdayaan
Dengan prinsip ini diharapkan ada peningkatan kemampuan masyarakat, keterlibatan masyarakat dan tanggungjawab masyarakat dalam pembentukan dan pengelolaan BUMDes.
b. Keberagaman
Prinsip ini mengandung maksud bahwa BUMDes yang dibentuk harus memperhatikan keragaman usaha yang ada di masyarakat yang mana usaha dimaksud menjadi bagian dari unit usaha BUMDes tanpa mengurangi status keberadaan usahanya
c. Partisipasi
Pembentukan dan pengelolaan BUMDes memerlukan peran aktif masyarakat untuk turut serta mendukung keberlangsungan BUMDes
d. Demokrasi
Pembentukan dan pengelolaan BUMDes didasarkan serta memperhatikan kebutuhan masyarakat.
3. Bentuk badan usaha dan bidang usaha
Bentuk badan hukum BUMDes:
a. BUMDes harus berbadan hukum;
b. BUMDes wajib memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
c. Badan hukum yang dibentuk bisa berupa Perseroan Terbatas (PT), CV, Firma atau bentuk badan hukum lainnya sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
Bidang usaha BUMDes
a. Bidang usaha yang dikelola BUMDes dapat bergerak pada satu bidang usaha atau gabungan dari berbagai usaha;
b. Bidang usaha yang dapat dijalankan oleh BUMDes:
1) Jasa keuangan, simpan pinjam;
2) Jasa lain: listrik desa, telekomunikasi desa, transportasi, pengelolaan sampah, penggilingan padi, air bersih dan jasa lainnya;
3) Perdagangan: pengelolaan pasar desa, penyediaan dna penyaluran sembilan bahan pokok, penyaluran dan penyediaan sarana produksi pertanian, perdagangan hasil pertanian;
4) Industri kecil dan kerajinan rumah tangga;
5) Kegiatan perekonomian lainnya.
4. Kepengurusan BUMDes, terdiri dari Dewan Pengawas dan Direksi yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
a. Dewan Pengawas
1) Dewan Pengawas BUMDes terdiri dari 3 orang yaitu seorang ketua dan 2 (dua) orang anggota;
2) Ketua Dewan Pengawas diambilkan dari unsur perangkat desa;
3) Anggota Dewan Pengawas berasal dari tokoh masyarakat;
4) Pengangkatan Ketua dan Anggota Dewan Pengawas dilakukan melalui musyawarah desa;
b. Direksi dan Kepala Unit Usaha
1) BUMDes dipimpin oleh seorang direksi yang dipilih dari unsur masyarakat;
2) Dalam menjalankan tugasnya Direksi dibantu oleh Kepala Unit Usaha dan staf;
3) Direksi dan kepala Unit Usaha BUMDes sebagai pelaksana operasional BUMDes diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desa melalui musyawarah desa.
c. Penghasilan Pengurus
1) Besarnya gaji/honorarium Dewan Pengawas setinggi-tingginya adalah 40% gaji/honorarium direksi;
2) Besarnya gaji Direksi, Kepala Unit Usaha, dan staf ditetapkan berdasarkan kemampuan keuangan BUMDes (sesuai pembagian hasil usaha) dengan persetujuan Kepala Desa melalui Dewan Pengawas;
5. Permodal BUMDes, dapat berasal dari:
a. Pemerintah desa, dan merupakan kekayaan desa yang dipisahkan;
b. Tabungan masyarakat;
c. Bantuan atau hibah dari pemerintah baik Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Pemerintah Daerah;
d. Penyertaan modal pihak lain atau kerjasama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan;
e. Pinjaman kepada lembaga keuangan. pinjaman atas nama pemerintah desa harus mendapatkan persetujuan BPD;
f. Usaha lain yang sah.
6. Rencana Kerja dan Anggaran
a. Selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku mulai berlaku, Direksi menyusun dan mengirimkan rencana kerja serta anggaran untuk mendapat persetujuan Dewan Pengawas;
b. Rencana kerja dan anggaran merupakan landasan direksi dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya;
c. Rencana kerja dan anggaran dimaksud berlaku untuk satu tahun;
7. Pembagian Hasil Usaha
1) Deviden sebesar 40 %; dan dibagikan secara proporsional kepada para pemegang saham;
2) Pemupukan modal usaha sebesar 20%;
3) Kas Desa sebesar 10%;
4) Dana pendidikan dan pelatihan pengurusan sebesar 10%;
5) Direksi, kepala unit usaha dan staf sebesar 15 %;
6) Dewan pengawas sebesar 5 %.
8. Pengelolaan
a. transparan artinya dapat diketahui, diikuti, dipantau, diawasi dan dievaluasi oleh masyarakat desa secara luas;
b. akuntabel mengikuti kaidah yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat;
c. akseptabel yaitu berdasarkan kesepakatan antar pelaku dalam masyarakat desa sehingga memperoleh dukungan dari semua pihak.
d. berkelanjutan yang dapat memberikan hasil dan manfaat kepada masyarakat;
9. Pertanggungjawaban
a. dilakukan sebagaimana lazimnya yang berlaku di masyarakat desa melalui musyawarah desa;
b. Sistem pelaporan kepada masyarakat maupun kepada pihak lainnya dibuat berdasarkan jenis usaha dengan sistematika sebagai berikut :
1) Pendahuluan, memuat latar belakang, maksud dan tujuan usaha;
2) Kegiatan usaha memuat materi pelaksana/tenaga kerja, produksi, penjualan/pemasaran dan keuntungan;
3) Permasalahan/hambatan, memuat materi pengadaan bahan baku, pemasaran, tenaga kerja, permodalan dan mitra usaha.
TAHAPAN PEMBENTUKAN BUMDes
Pertama adanya kesepakatan antara masyarakat dengan pemerintah desa dalam menentukan bidang usaha yang akan menjadi jenis usaha BUMDes dengan 3 (tiga) alternatif, yaitu:
1. mengembangan Lembaga Ekonomi Desa (LED) yang sudah ada, misalnya Pasar Desa, Lumbung Desa, UED-SP, UP2K, KUB, Kelompok Tani, dan sebagainya;
2. menciptakan usaha baru dengan mengembangkan potensi desa yang mendukung BUMDes;
3. mengembangkan Lembaga Ekonomi Desa (LED) yang sudah ada dan menciptakan usaha baru.
Kedua melakukan inventarisasi Lembaga Ekonomi Desa (LED) yang potensial untuk dikembangkan menjadi BUMDes. Inventarisasi ini meliputi asset, pengelola atau kepengurusan, anggota, perkembangan, dan administrasi pendukung LED. Serta inventarisasi potensi ekonomi desa yang akan dikembangkan menjadi usaha baru dalam pembentukan BUMDes.
Ketiga sosialisasi pembentukan BUMDes kepada oleh Pemerintah Desa kepada BPD, LPMD, pengelola/pengurus LED, dan tokoh masyarakat yang berkepentingan atau diperlukan.
Keempat penyusunan Rancangan Peraturan Desa tentang Pembentukan BUMDes oleh Pemerintah Desa, persetujuan oleh BPD, evaluasi oleh Bupati, dan pengesahan Rancangan Peraturan Desa tentang Pembentukan BUMDes menjadi Peraturan Desa oleh Kepala Desa.
Kelima pembentukan kepengurusan BUMdes (Dewan Pengawas, Direksi, Kepala Unit Usaha, dan staf) melalui musyawarah desa dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
Keenam penyusunan dan penetapan AD ART serta RKA (Rencana Kerja dan Anggaran BUMDes.
Kondisi di Kabupaten Bengkayang belum ada BUMDes yang berdiri secara legal dalam arti ditetapkan dengan Peraturan Desa, tetapi embrio BUMDes sudah ada yaitu seperti Pasar Desa, Lumbung Desa, UED-SP, UP2K, KUB, Kelompok Tani, dan sebagainya. Untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan Lembaga Ekonomi Desa secara berkelanjutan dan mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat khususnya masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, serta untuk melindungi aset Lembaga Ekonomi Desa maupun simpanan atau tabungan masyarakat pengguna jasa layanan Lembaga Ekonomi Desa, maka perlu dibentuk BUMDes. Sehingga melalui BUMDes, pendapatan masyarakat akan meningkat, tersedia lapangan kerja baru, dan dapat mengurangi kesenjangan, penanggulangan kemiskinan, serta memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli desa.
Di beberapa kabupaten lain telah banyak desa yang mempunyai BUMDes, ada yang secara mandiri mengembangan potensi ekonomi desa yang sudah ada, ada juga yang sedikit dipaksakan oleh Pemerintah Kabupaten setempat dengan diberikan stimulan permodalan awal dari APBD Kabupaten melalui dana hibah dengan status dana milik masyarakat desa dan menjadi saham dalam BUMDes.
Semoga kedepan desa di Kabupaten Bengkayang tidak hanya menggantungkan pendapatan dari bagi hasil pajak provinsi,kabupaten dan alokasi dana desa (ADD) yang terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar