Gunung Pandan Desa Karya Bhakti Kec.Sungai Betung |
Rasanya masih kikuk, untuk mengatakan
bahwa saat ini banyak pemimpin kita yang mau memikirkan tentang desa.
Kebanyakan pemimpin menganggap desa adalah komponen kedua setelah kota.
Desa dianggap kelas nomor dua, tidak begitu penting, akibatnya
pembangunan desapun terlupakan. Salah satu indikator akan hal tersebut
adalah sedikitnya buku atau hasil penelitian yang mendesain tentang
pembangunan desa. Buku-buku dan penelitian yang ada saat ini, lebih
menitikberatkan pada pembangunan dan penelitian tentang masyarakat
modern, yaitu kaum kota. Keadaan demikian diperparah dengan adanya
kecenderungan para sarjana putera daerah yang lebih merasa nyaman
tinggal di kota. Mereka enggan kembali ke desanya.
Di tangah kondisi demikian, buku dengan judul Kembali Ke Khittah Ekonomi Kerakyatan ini
hadir dari seorang pemimpin yang peduli dengan pedesaan. Buku ini
adalah tulisan refleksi Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Helmy
Faishal Zaini, tentang strategi membangun desa. Tentu saja, bunga rampai
ini patut diapresiasi karena hadir di tengah keenggenan untuk membuat
terobosan di desa.
Intisari buku ini adalah tentang ide dasar program
unggulan Kementerian Pembengunan Daerah Tertinggal, yaitu Bedah Desa.
Program Bedah Desa ini terdiri atas berbagai bentuk program, antara
lain, program listrik masuk desa, perbaikan infrastruktur berupa jalan
poros desa, pasar desa, warung informasi desa atau desa “bordering” dan pengembangan agribisnis pedesaan.
Namun, sebelum pembangunan infrastruktur tersebut
dilaksanakan, terlebih dahulu harus diawali dengan merubah paradigma.
Hal ini adalah kunci awal yang bisa menumbuhkan gairah masyarakat desa
untuk mau maju. Buku ini mengetengahkan beberapa paradigma yang harus
diubah, guna menuju pembangunan desa yang baik.
Menurut Helmy, untuk mempercepat proses pengentasan
daerah tertinggal, baik di kawasan perbatasan maupun di daerah konflik,
rawan bencana, dan kawasan timur Indonesia, diperlukan paradigma baru.
Bila sebelumnya paradigma pembangunan berbasis kawasan, maka sekarang
paradigmanya harus berbasis pada pedesaan (base on vilage). Dengan paradigma baru ini, maka sasaran pengentasan daerah tertinggal langsung ke jantungnya, yaitu desa sebagai center komunitas.
Pembangunan yang berbasis pedesaan sangat penting
dan perlu untuk memperkuat perekonomian negara, mempercepat pengentasan
kemiskinan dan pengurangan kesenjangan perkembangan antar wilayah.
Selain perubahan paradigma di atas, Helmy juga
menawarkan perubahan cara pandang. Kecenderungan stigma yang melekat
pada masyarakat pedesaan selalu identik dengan perilaku dan sikap yang
dianggap kolot dan tradisional, yang dilawankan dengan sikap dan
perilaku orang kota yang maju dan modern.
Terjadinya keterbelakangan sosial masyarakat desa
dalam pembangunan dinisbatkan karena sulitnya masyarakat desa menerima
budaya modernisasi, sulit untuk menerima teknologi baru, malas, dan
tidak mempunyai motifasi yang kuat, merasa cukup puas dengan pemenuhan
kebutuhan subsistem (kebutuhan pokok yang paling dasar), dan budaya Shared Proverty.
Cara pandang demikian, tulis Helmy, harus diubah
secara total. Karena perilaku dan sikap yang dinisbatkan ke masyarakat
pedesaan yang cenderung negatif itu tidak seluruhnya benar secara
empiris. Faktor-faktor kemiskinan yang terjadi di masyarakat pedesaan
cenderung lebih bersifat struktural dibandingkan bersifat kultural.
Mereka miskin bukan karena mereka malas dan sulit menerima perubahan,
tetapi karena faktor struktur yang ada kurang berpihak pada masyarakat
pedesaan.
Menggali Yang Terpendam
Selain menawarkan perubahan paradigma dan konsepsi
pengembangan infrastruktur desa, buku ini juga menawarkan strategi
memanfaatkan “mutiara-Mutiara” atau potensi daerah yang terpendam.
Sebagaimana telah banyak kita baca dari media maupun dari berbagai
penelitian, bahwa sekian banyak dari daerah tertinggal ternyata
mempunyai kekayaan alam dan potensi yang meruah. Namun, potensi dan
kekayaan ini justeru tidak bisa menjadikan masyarakat setempat menjadi
makmur, bahkan mayarakat kotalah yang menikmati kekayaan alam dan
potensi daerah, ini ironis.
Nah, bunga rampai ini juga membahas pemanfaatan
potensi dan kekayaan alam di daerah tertinggal. Tentu saja, strategi
yang ditawarkan tidak bersifat mutlak, tetapi menyesuaikan dengan
kondisi di masing-masing daerah.
Namun, tulis helmy, ada strategi universal yang
bisa diterapkan di semua daerah. Yaitu pengembangan ekonomi lokal dengan
berlandaskan pada pendayagunaan potensi sumber daya lokal (Sumberdaya
Manusia, Sumberdaya Kelembagaan, serta Sumberdaya fisik) yang dimiliki
masing-masing daerah, oleh pemerintah dan masyarakat, melalui pemerintah
daerah maupun kelompok-kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang
ada.
Selain itu, Helmy juga menawarkan solusi membuka
keterisolasian daerah tertinggal agar mempunyai keterkaitan dengan
daerah maju dan peningkatan kapasitas, baik kapasitas kelembagaan maupun
kapasitas sumberdaya manusia pemerintah dan masyarakat di daerah
tertinggal.
Buku ini cocok dibaca oleh para pejabat daerah,
lebih-lebih para walikota, sehingga mereka mempunyai cara pandang dan
paradigma yang searah dengan Pemerintah Pusat, Khususnya Kementerian
Daerah Tertinggal. Kesamaan cara pandang tersebut akan mempercepat
proses pengentasan suatu daerah dari ketertinggalan.
Selain para kepala daerah, buku ini juga sangat
cocok dibaca oleh kalangan mahasiswa serta para peneliti yang mempunyai
konsentrasi pada otonomi daerah. Selamat membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar