Tidak ada rahasia untuk sukses,itu hasil persiapan,kerja keras dan belajar dari kegagalan
Kamis, 03 Mei 2012
KONTRADIKTIF KEWENANGAN DESA (KADES & BPD)
"Kewenangan Desa: Antara Mimpi dan Kenyataan"
Oleh
: Budi Usman
PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam
melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali
menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan
terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu
peraturan pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu
menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa.
Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak
jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan
kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal,
pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa
terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Seperti dilansir dari
sinar harapan beberapa waktu lalu menurut Persada Girsang Dirjen Pemdes
Depdagri mengungkapkan banyak hal dalam tuntutan kepala desa yang
sebenarnya masuk akal dan memang harus dipenuhi. Ada juga tuntutan yang
sebenarnya bertolak belakang dan tidak bisa dipenuhi. Sebut saja
keinginan untuk terlibat dalam kegiatan politik partai dan keinginan
memperpanjang masa jabatan. Jika keinginan terlibat dalam politik
diizinkan, bukan tidak mungkin akan terjadi benturan kepentingan dan
bisa merugikan rakyat. Girsang menyatakan otonomi yang sesungguhnya
bukan di kabupaten melainkan di desa. Tapi yang terjadi sekarang karena
otonom itu berpusat di kabupaten, maka untuk izin mendirikan pasar di
desa saja harus ada izin dari kabupaten. Sudah menjadi pemahaman
umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang
Nomor 32/2004 memberi kesempatan kepada Pemerintah Kabupaten untuk
mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing. Otonomi daerah
itu sendiri merupakan pemberian kewenangan Kepada Daerah untuk mengatur
anggaran daerahnya sendiri, tapi tidak lepas dari pengawasan Pemerintah
Pusat. Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana
keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung
tombak pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal
merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan
pemba-ngunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta
dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam
mencip-takan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya
kreativitas dan inovasi masya-rakat dalam mengelola dan menggali potensi
yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi
masyarakatnya. Dengan demi-kian, maka cepat atau lambat desa-desa
tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni
masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang
dirasakannya. Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi
Desa adalah Pemerintah Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada
masyarakatnya dan mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan
yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan
menjadi pilar penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah
sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Namun demikian,
realitas yang terjadi pada era otonomi dan desentralisasi yang muatannya
sarat akan nilai-nilai demokrasi dan transparansi ini cenderung sering
menghadirkan permasalahan yang kompleks di desa. Dimana pada era
tersebut, proses politik berjalan seperti lebih cepat daripada kemampuan
untuk mengelola manajemen pemerintahan desa yang otonom. Masyarakat
atau kelompok masyarakat diper kenalkan dengan hal baru dalam konteks
politik, yakni kebebasan menentukan sikap dan pendapat serta meniru
demokrasi ala barat, dan demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa
batas. Beberapa kendala lain yang pantas menjadi bahan pemikiran dan
perlu dicari jalan keluarnya, antara lain: Pertama, merubah
mentalitas aparatur, baik di tingkat Desa, Kecamatan maupun Kabupaten
yang terbiasa bersikap sentralistis menuju mentalitas pemberdayaan
daerah. Sehingga untuk melaksanakan suatu kebijakan terkadang masih
harus menunggu Juklak, Juknis dan segala tuntunan dari atas (Tuntas).
Kedua, usulan-usulan tentang prioritas program pembangunan di desa yang
disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten setelah melalui Musbang di
tingkat desa dan kecamatan sering terkesan hanya formalitas dan kurang
diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh Pemerintah Kabupaten. Hal itu
dapat dilihat dari usulan tentang prioritas program pembangunan di desa
dan kecamatan yang “itu-itu saja” dari tahun ke tahun. Ironisnya,
usulan-usulan itu sering terbentur pada ketidakmampuan daerah dalam hal
pendanaan, atau bahkan terperangkap dalam jaring KKN model baru yang
menyebabkannya terlantar dan hanya menjadi arsip dalam laci. Bukan
rahasia lagi bahwa bagi Desa atau Kecamatan yang mempunyai orang yang
memiliki akses di pemerintahan, baik di Legislatif maupun Eksekutif,
sangat memudahkan Desa atau Kecamatan tersebut memperoleh prioritas
proyek-proyek pembangunan. Ketiga, jika Otonomi Desa benar-benar
dapat diwujudkan, barangkali cukup menguntungkan bagi desa-desa yang
memiliki aset dan sumber daya alam yang memadai, namun justru
mempersulit untuk desa-desa yang kurang strategis dalam masalah sumber
daya alam dan tidak memiliki aset yang cukup. Keempat, sikap ambigu
Pemerintah Kabupaten dalam penanganan aset Kabupaten yang ada di desa.
Di satu sisi aset tersebut dituntut untuk menjadi mata air bagi PAD yang
harus selalu mengalir deras. Di sisi lain, Desa yang memiliki aset dan
banyak menerima imbas dari keberadaan aset tersebut kurang dilibatkan
penanganannya dan hanya menerima penyisihan hasil yang sangat jauh dari
pantas, apalagi cukup. Contoh yang mudah mengenai hal ini adalah
keberadaan pasar milik Pemerintah Kabupaten yang ada di desa. Ada satu
wacana, bahwa untuk terwujudnya keadilan atau keseimbangan dalam
pemanfaatan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten, desa-desa mesti tergabung
dalam asosiasi atau paguyuban agar memiliki kekuatan untuk berembug dan
tawar-menawar dalam hal pemanfaatan DAU Kabupaten. PP No. 72 /2005
tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan
desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan
peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap
kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan
pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan
paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis sub
ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya
dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD
sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal, pasal 202 ayat
(1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa terdiri atas
kepala desa dan perangkat desa. Reduksi sistematis terhadap
kedudukan dan peranan BPD terlihat sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal,
yaitu: (1). Tidak ditegaskannya kedudukan BPD sebagai
parlemen/legislatif desa; (2). Mekanisme pengisian keanggotaan BPD yang
semula dalam UU No. 22/1999 “dipilih” berdasarkan mekanisme demokratis,
kini dalam UU No. 32/2004 ditetapkan secara musyawarah dan mufakat
dengan basis perwakilan wilayah. Ditinjau dari sudut aliran
pertanggungjawaban (legal accountabi-lity) penyelenggaraan pemerintahan
desa oleh Kepala Desa versi UU No. 32/2004 maupun PP No. 72/2005,
terlihat sangat kentara adanya tarikan ke atas. Pasal 15 ayat (2) PP No.
72/2005 menyebutkan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk
memberikan laporan penye-lenggaraan pemerintahan desa kepada
Bupati/Walikota. Tanggung jawab Kepala Desa kepada BPD hanya dalam
bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban, dan kepada
masyarakat hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
desa. Rumusan aturan dalam pasal 15 ayat (2) PP desa itu tentu saja
terlihat kontradiktif dengan pasal 35 huruf b PP desa, yang mengatur
bahwa BPD memiliki salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa. Meskipun
pada pasal 35 huruf c PP Desa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada Bupati/walikota,
namun mengacu pada rumusan pasal 15 ayat (2) PP Desa di atas, sangat
jelas terlihat ambiguitas pe-ngaturan kewenangan pengawasan BPD.
Selain itu, menyangkut sistem perencanaan di desa terlihat pula belum
adanya kehendak negara untuk membangun pola local self planning di desa.
Pasal 63 PP Desa masih mengikuti jejak UU No. 32/2004, yang menempatkan
perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan
pembangunan daerah kabupaten/kota. Sementara itu, pasal 150 UU No.
32/2004 telah menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu
kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Apabila ditarik garis
lurus untuk menghubungkan substansi pengaturan mengenai perencanaan di
desa, daerah dan pusat, terlihat sangat jelas yang dibangun adalah model
perencanaan terpusat (centralized planning). Sentralisasi perencanaan
semacam itu sebenarnya justru mengingkari hakekat otonomi daerah, yang
seharusnya terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya menjadi
otonomi rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar