Itulah misteri kekuasaan kata Hasyim Asy”ari. Dengan kekuasaannya
kepala daerah dapat melakukan apa saja sesuai kehendaknya dengan segenap
instrument dan sumber daya yang dimiliki. Seseorang kepala daerah berwenang
menunjuk siapa saja yang menjadi kepala dinas. Namun dalam politik ada
keyakinan “there is no free lunch in
politics”. Ini mungkin menjadi salah satu sumber “pendapatan” di luar gaji seorang kepala
daerah. Itu hanya salah satu contoh,masih banyak contoh lain jika di teruskan.
Secara kasat mata,realitas itu menuntun kita membuka tabir misteri
kekuasaan,yaitu berlakunya hukum alam politik “money get to power and than gets more money”. Kekuasaan membuat
kecanduan,mirip dengan kecanduan rokok. Seorang yang berkuasa dalam kurun waktu
yang lama akan kecanduan kekuasaan,yang membuat hidupnya menjadi tidak
normal jika tidak menggenggam kekuasaan.
Ketergantungan pada kekuasaan membuat seorang penguasa
menjadi terlalu sensitif pada kekuasaannya. Kritik atau sikap yang berlawanan
dengan kekuasaannya yang datang dari orang lain akan dipandang sebagai usaha
menjatuhkan kekuasaannya,dan tidak legowo jika digantikan oleh orang lain.
Kalaupun harus digantikan masih berkaitan dengan menjaga kepentingannya.
Menurut Musa Asyari (2010:52), nyandu kekuasaan sangat berbahaya,bahkan
lebih berbahaya daripada nyandu
narkoba,karena akan berdampak “sistemik” bagi kehidupan masyarakat. Seorang
penguasa atau pejabat yang nyandu
kekuasaan akan melahirkan kebijakan dan tindakan yang korup,yang hanya
menguntungkan dirinya dan kelompoknya,kemudian merugikan yang lainnya dan dapat
mengganggu kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Demokrasi
politik yang berlandaskan etika politik menjadi solusi menghadapi keruwetan dan
carut marutnya kekuasaan. Karena dalam demokrasi politik kekuasaan harus selalu
dikontrol secara ketat agar penguasa tidak “memiliki” kekuasaan. Seorang
penguasa juga harus bersikap demokratis,terbuka dan bersikap positif dalam
mengantarkan generasi pemimpin berikutnya. Etika politik memberikan landasan
etis dan tingkah laku bermoral para penguasa.
Tanggung jawab moral dan politik yang berkeutamaan sebagai bagian
hakiki dari setiap praktek politik ketika kebaikan dan kesejahteraan masyarakat
menjadi taruhannya. Tetapi tampaknya keyakinan ini berubah menjadi semacam
pesimisme politik ketika para pemegang kekuasaan mempraktikkan kekuasaan tanpa
tanggung jawab politik,katakan saja ketidakpekaan pada kepentingan public,memperkaya
diri,atau upaya pelanggengan kekuasaan dan semacamnya. Dalam kondisi demikian
pandangan klasik bahwa konsumerisme telah menganeksasi wilayah keutamaan moral
dan mengaburkan kemampuan membedakan moral execellence
dari moralitas binatang yang mengutamakan kenikmatan dapat diterima.
Akibatnya,alih-alih mengutamakan kepentingan masyarakat yang mereka pimpin,para
penguasa menghapus tanggung jawab moral dan politik dari kamus kekuasaan
mereka.
Dalam textbook filsapat politik,ada pemikiran
kekuasaan sebagai tujuan politik yang dikembangkan oleh Niccollo Machiavelli
yang menyatakan bahwa seorang penguasa harus memiliki dua watak ,yaitu watak
manusia dan binatang. Untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan penguasa harus
mengedepankan watak binatangnya yang buas dan kejam. Sedangkan untuk menarik
simpati rakyat penguasa harus menggunakan pendekatan-pendekatan humanisme.
Machiavelli menolak tegas doktrin Thomas Aquinas tentang gambaran penguasa yang
baik. Aquinas dalam karyanya The
Government of princes berpendapat bahwa penguasa yang baik harus menghindari
godaan kejayaan dan kekayaan-kekayaan
duniawi agar memperoleh ganjaran surgawi kelak, (Suhelmi,2001 : 133). Bagi
Machiavelli sebaliknya,penguasa yang baik harus berusaha mengejar kekayaan dan
kejayaan karena keduanya merupakan nasib mujur yang di miliki seorang penguasa.
Dan nampaknya para penguasa di Indonesia memiliki persepsi seperti ini,sehingga
benar apa yang disampaikan oleh Musa Asy”ari,banyak pemimpin kita yang
kecanduan kekuasaan. Bagi Machiavelli kekuasaan adalah raison d’etre negara. Negara menjadi simbolisasi tertinggi
kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua (all embracing) dan mutlak (ibid). Pendapat Machiavelli inilah yang
kemudian menjadikan beberapa sarjana berkesimpulan,bahwa Machiavelli memiliki
obsesi terhadap Negara kekuasaan (maachstaat)
dimana kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa bukan rakyat dan
prinsip-prinsip hukum (reechtaat).
Namun,dalam
filsafat politik orang tidak hanya berhenti pada cara berpikir monokausal
(meminjam istilah dari Frans Magnis Suseno). Kita diajak mencari hakikat
politik,meneliti sumber dan dasarnya,menganalisis beragam sistim politik,yang
riil dan yang mungkin,menspesifikasikan tujuan-tujuan politik,menentukan
kategori-kategori institusional dan rezimnya.
Eric Weil,yang mengambil posisi bertentangan dengan
Machiavelli,mengatakan bahwa filsafat politik merupakan suatu gerak yang berangkat
dari moral dan melampauinya dalam teori tentang Negara (Haryatmoko, 2004 : 23).
Tentu saja politik bukan seperti yang dipahami politikus,tapi yang dimengerti
oleh orang yang mencari makna dan nilai di dalam politik. Jadi perlu ditunjukan
dan diperjelas bahwa filsafat politik berangkat dari moral. Moral adalah
segala-galanya, sedangkan Negara atau kekuasaan adalah alat bukan tujuan.
by hatari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar