Burung Enggang/Kenyalang/Alo |
Pemberdayaan Usaha Mikro (UM) dan Pemberdayaan LKM haruslah mencakup dua aspek ,yaitu aspek regulasi dan aspek penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri harus saling terkait dan mendukung, sehingga mampu membentuk sinergi dalam pengembangan usaha mikro.
Dalam aspek regulasi, berdasarkan studi kasus dan pengalaman selama ini masih terbatasnya layanan kerangka hukum keuangan mikro, kurang memadainya peraturan pengawasan, serta masih diterapkannya bentuk kredit bersubsidi dengan target sasaran tertentu, tanpa mendesain system tabungan sebagai investasi masyarakat.
Sedangkan dalam aspek kelembagaan secara ekonomi di tingkat pedesaan belum tersentuhnya kelembagaan yang memungkinkan masyarakat turut serta berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengelolaannya. Oleh karena itu instrumen yang dibutuhkan dengan menghadirkan pembentukan Badan Usaha yang dapat mengayomi kesempatan berusaha bagi masyarakat yakni melalui BUMDes.
Pemerintah telah berkomitmen dengan mengadopsi resolusi PBB tentang The International Year of Mikrocredit 2005, menyebabkan sangat diperlukannya kebijakan nasional bagi keuangan mikro untuk mengatasi keterbatasan perbankan melalui penciptaan lingkungan yang memungkinkan LKM yang sudah ada saat ini untuk memperluas pelayanan mereka serta mendukung terbentuknya berbagai LKM untuk mengisi pelayanan permodalan mikro terutama di wilayah perdesaan, dan BUMDes diharapkan dapat menjawab keberadaan LKM dimaksud.
Bentuk layanan keuangan mikro secara formal dimiliki oleh Perbankan dan Koperasi yang sejujurnya belum menjangkau layanan keuangan mikro di daerah perdesaan dimana mayarakat sangat membutuhkan sentuhan modal usaha. Sedangkan bentuk lain berupa layanan keuangan mikro di daerah perdesaan dimana
Masyarakat sangat membutuhkan sentuhan modal usaha. Sedangkan bentuk lain berupa layanan keuangan informal yang dimiliki oleh masyarakat perdesaan itu sendiri yakni atau disebut LKM Bukan Bank dan Bukan Koperasi (LKM B3K) dan sudah beroperasi puluhan tahun.
Bedasarkan pendataan sebaran LKM B3K sebagaimana diamanatkan dalam inpres 3 Tahun 2010 tentang Pembangunan Yang Berkeadilan,diperintahkan kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menginventarisir LKM B3K yang masih beroperasi di perdesaan jumlahnya + 61.400 unit (hampir menyamai jumlah desa di Indonesia).
Sebaran LKM B3K ini segera mungkin dapat mempunyai kekuatan hukum, dengan bertranformasi menjadi BPR, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagaimana telah disepakati melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Koperasi dan UKM, dan Gubernur Bank Indonesia, dan BUMDes secara de fakto mempunyai kekuatan legalitas yang diakui menurut Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
Peran LKM-B3K Dalam BUMDes
Mengingat sentralnya perananLKM B3K dalam BUMDes, maka pemerintah berkewajiban memberikan perhatian yang serius dan konsisten, dan merupakan kebijakan yang tidak terpisahkan dengan program pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, sangatlah tepat bila pada pasal 3 UU No.20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, dinyatakan bahwa Usaha Mikro, bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Untuk itu, sinergitas penyusunan kebijakan setiap level pemerintahan sangat diperlukan dan disesuaikan dengan kewenangan masing-masing sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, strategi pengembangan BUMDes tidak semata didasarkan pada aspek target pertumbuhan ekonomi, akan tetapi yang lebih penting adalah menciptakan aktifitas ekonomi yang kondusif di tingkat desa paling tidak memecahkan kendala pengembangan usaha desa guna mendorong peningkatan pendapatan masyarakat sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Komitmen dalam pemberdayaan BUMDes perlu juga memperhatikan kewenangan penyelenggaraan pembinaan kepemerintahan. Hubungan kerjasama antar dunia usaha dan pemerintah daerah perlu senantiasa dijaga agar dapat saling sinergi. Oleh karena itu, salah satu peran yang diemban oleh provinsi adalah mengkoordinasikan dan menserasikan kebijakan dan program penyelenggaraan pembinaan usaha ekonomi masyarakat.
Dalam hal penyelenggaraan pembinaan LKM B3K melalui BUMDes, maka perlu menekankan adanya aspek “keterpaduan” dimana pembinaan dislenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan, antara lain, adalah Pemerintahan, pemerintah daerah, dan pengusaha Mikro di perdesaan.
Pijakan Regulasi
Sebagaimana digariskan dalam Peraturan pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pada era otonomi daerah saat ini, banyak urusan pemerintah berupa kewenangan untuk mengatur fungsi pelayanan masyarakat telah diserahkan ke daerah, baik tingkat provinsi ataupun Kabupaten dan Kota. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakat.
Perangkat kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, sebagai landasan berpijak dengan memperhatikan struktur kelembagaannya di tingkat Desa yakni melalui BUMDes berdasarkan Permendagri No. 39 Tahun 2010. Proses fasilitasi pengembangan BUMDes agar dapat diteruskan dengan program-program yang konkrit dan dapat diimplementasikan penyelenggaraan perencanaan, dan pengendalian secara terpadu.
Kondisi Obyektif
Rendahnya produktivitas pelayanan di Desa selama ini lebih disebabkan oleh lemahnya sumberdaya manusia di bidang manajemen, organisasi yang kurang professional, penguasaan teknologi dan pemasaran yang lemah, serta rendahnya kualitas kewirausahaan dari para pelaku usaha mikro.
Masalah pengembangan BUMDes juga bertambah rumit karena kebanyakan usaha mikro kurang difasilitasi dengan akses terhadap permodalan, informasi, pasar, teknologi dan factor-faktor penunjang bisnis lainnya. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dalam bentuk affirmative action atau tindakan keberpihakan, yakni bahwa pemerintah dan pemerintah daerah memang harus mengembangkan BUMDes.
Ada dua piihak yang diharapkan berperan aktif dalam mengembangkan BUMDes:
- Pemerintah Daerah, diharapkan membantu dalam regulasi, program maupun bantuan teknis dan permodalan.
- Swasta, diharapkan melakukan kemitraan pendampingan maupun permodalan baik yang terkait langsung dengan kegiatan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat maupun program perusahaan seperti Corporate Social Responsibility (CSR).
Perspektif BUMDes Ke Depan
Kebijakan pemerintah dalam upaya pengembangan BUMDes, diperlukan suatu pemahaman yang terukur dan mendalam (diagnosis) untuk mengetahui apa sebenarnya permasalahan yang dihadapi oleh tiap-tiap usaha BUMDes di masyarakat yang akan dibina. Pembinaan tidak mungkin berhasil tanpa adanya pemahaman yang utuh atas kebutuhan klien dan tidak berkesinambungan.
Pengembangan BUMDes membutuhkan pembinaan yang berkelanjutan guna mencapai sasaran. Perlunya pengembangan BUMDes, antara lain:
- Pengembangan unit usaha BUMDes idealnya bertumpu pada potensi dan kondisi local serta lebih berorientasi pada proses yang partisipatif;
- Pengembangan BUMDes bukan hanya pada strategi pemecahan permasalahan saja, tapi sampai pada strategi rencana tindak pengembangan unit usaha;
- Pengembangan BUMDes hendaknya melibatkan seluruh stakeholders, baik komponen masyarakat, pemerintah dan legislative serta dunia usaha.