SELAMAT DATANG DI BLOGSPOT BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMERINTAHAN DESA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA KABUPATEN BENGKAYANG

Jumat, 08 Juni 2012

9 Tips Hidup Lebih Bahagia

Happy Life
1. Janganlah Takut dan Khawatir
• Perasaan takut dan khawatir merupakan pikiran kita yang paling tidak produktif. Sebagian besar hal-hal yang kita khawatirkan atau takutkan tidak pernah terjadi. Jadi untuk apa kita khawatir dan takut?


2. Janganlah Pernah Menyimpan Dendam
• Dendam adalah hal terbesar dan akan menjadi beban terberat jika kita menyimpannya di dalam hati. Maukah anda membawanya sepanjang hidup? …. Saya rasa tidak. Jangan sia-siakan energi kita dengan menyimpan dendam, sudah pasti tidak ada gunanya. Gunakanlah energi kita tersebut untuk hal-hal yang positif.


3. Fokuslah Pada Satu Masalah
• Jika kita memiliki beberapa masalah, selesaikanlah masalah kita satu per satu. Jangan terpikirkan untuk menyelesaikan masalah secara sekaligus karena justru akan membuat kita semakin stress.

4. Jangan Membawa Tidur Masalah Anda
• Masalah adalah hal yang sangat buruk untuk kesehatan tidur kita. Pikiran bawah sadar kita adalah hal yang luar biasa yang dapat membuat kita gelisah dan tidur kita menjadi tidak nyenyak.

5. Janganlah Mengambil Masalah Orang Lain Untuk Anda Selesaikan
• Membantu orang lain yang sedang dalam masalah adalah hal yang mulia, tetapi jika kita mengambil porsi terbesar untuk menyelesaikan masalah orang lain tersebut justru itulah kesalahan terbesar. Biarkanlah orang tersebut yang menyelesaikan masalahnya sendiri dengan porsi terbesar.

6. Jangan Hidup di Masa Lalu
• Mungkin terasa nyaman bagi kita mengingat hal-hal yang menyenangkan di masa lalu tetapi jangan anda terlena didalamnya. Konsentrasilah dengan apa yang terjadi saat ini, karena kita pun akan bisa merasakan banyak kebahagiaan di saat ini. Saya yakin kita akan mempunyai perasaan yang jauh lebih berbahagia jika kita merayakan apa yang terjadi saat ini dibanding dengan mengingat-ngingat kebahagiaan di masa lalu.

7. Jadilah Pendengar yang Baik
• Mungkin sebagian besar orang termasuk saya susah untuk menjadi pendengar yang baik. Justru sebaliknya kita mengharapkan orang lain yang mendengarkan omongan kita, tetapi sebetulnya dengan belajar mendengarkan orang lain, kita akan mendapatkan banyak hal baru yang dapat sangat berguna bagi kebahagiaan hidup kita.

8. Jangan Biarkan Rasa Frustasi Mengatur dan Bahkan Mengacaukan Hidup Anda
• Kasihanilah diri kita lebih dari apa pun, maksud saya adalah janganlah kita menyerah pada frustasi. Maju terus. Ambillah tindakan-tindakan positif dan lakukanlah dengan konsisten.

9. Selalu Bersyukur
• Bersyukur dan berterimakasihlah atas semua yang kita dapatkan, bukan hanya hal yang positif saja tetapi juga hal yang negatif, karena saya percaya dibalik setiap hal yang negatif tersebut ada hal baik yang bisa kita pelajari.

Selasa, 05 Juni 2012

Semangat Pemuda Indonesia


Riam Berawant Desa Sahan Kecamatan Seluas Kab.Bengkayang Kalbar


Prestasi pemuda Indonesia di kancah internasional bisa menjadi contoh nyata dari istilah kebangkitan itu. Prestasi itu sungguh memikau baik di olimpiade sains, kompetisi olahraga, maupun riset. Prestasi ini dapat membongkar stigma negatif yang selama ini terlanjur melekat bagi Indonsia. Kenyataan ini menandakan bahwa sebenarnya kaum muda Indonesia memiliki kualitas luar biasa bahkan mengungguli negara-negara barat. Beberapa prestasi ini menjadi alasan bagi banyak orang yang beranggapan bahwa Indonesia bisa jaya oleh pemuda. Bahkan seperti sudah menjadi keperacayaan bagi banyak orang bahwa sebenarnya bangsa Indonesia ini bisa maju jika dipimpin oleh kaum muda.
Namun prestasi internasional itu tidak sebanding dengan prestasi dalam negeri sendiri. Di negeri ini kaum muda masih diabaikan. Ongkos politik dan sosial untuk menjadi seorang pemimpin di Negara ini sunguh luar biasa besar, modal inilah yang belum dimiliki kaum muda Indonesia. Meski ada semangat yang berkobar dan patriotisme tinggi tapi masih belum mampu memuluskan jalan menjadi pemimipin. Lagipula budaya timur itu sangatlah susah dirubah, masyarakat indonesia masih sangat tidak percaya bila dipimpin oleh orang muda. Bilapun ada contoh kaum muda menjadi pemimpin di negeri ini bukanlah murni karena kompetensi yang dimilikinya tetapi karena faktor lain seperti ketampanan fisik, ketenaran, dan kekayaan. Keran kepemimpinan itu harus dibuka bagi kaum muda.
Fakta yang terjadi di Amerika itu, mungkin bisa membuka mata para pemimpin bangsa ini, bahwa tak selamanya yang tua lebih bagus, meski memiliki pengalaman, namun tak bisa menjustifikasi bahwa anak muda tidak punya semangat meraih pengalaman yang jauh lebih bagus lagi dari kaum tua itu. Kaum muda justru memiliki semangat besar dan energi tinggi untuk meraih mimpinya. Kaum muda punya keberanian (sesuatu yang tidak dimiliki pemimpin bangsa saat ini) mendobrak kebiasaan buruk yang menurut sebagian orang sudah menjadi budaya. Kaum muda punya nyali tinggi menghadapi kedzaliman. Dan kaum muda punya kemauan keras untuk belajar.
Masih teringat oleh kita 100 tahun yang lalu. Masa dimana Indonesia merasa itulah momen yang tepat menunjukkan kebangkitan bangsa ini dari penjajahan Belanda dengan berdirinya Budi Utomo. Siapa yang mengusungnya? Tokoh tua kah? Kita lihat juga saat bersejarah ketika seluruh pemuda Indonesia mengikrarkan sumpahnya tahun 1928 sehingga membuat penjajah kalang kabut. Siapa yang melakoninya, apakah kaum tua? Demikian juga kalau bukan para pemuda yang mendesak Soekarno dan Hatta untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia tahun 1945 mungkin sampai saat ini Indonesia masih menjadi bangsa terjajah. Kemudian siapa yang menggulingkan kediktatoran Orde Baru? Dan masih banyak sebenarnya bukti-bukti sejarah yang menunjukkan peran pemuda meraih kejayaan bangsa, namun sepertinya sederetan bukti itu tidak cukup bagi para elit untuk menempatkan pemuda sebagai human capital bagi negeri ini.
Indonesia adalah bangsa yang tidak pernah belajar dari sejarah. Pernyatan inilah yang akhirnya sering menjadi momok sekaligus tameng bagi setiap kegagalan yang dialami bangsa ini. Pertanyaan yang harus kita jawab bersama adalah kenapa kita tidak mau belajar dari sejarah? Melalui momentum sejarah 100 tahun kebangkitan nasional ini mudah-mudahan bisa membuka mata telinga kita bahwa banyak anak muda yang berpotensi diluar sana yang siap membangun bangsa ini, membuatnya menjadi bangsa yang besar dan disegani bangsa lain.
100 tahun sudah lah cukup bagi kita belajar dari sejarah bangsa ini. Sekaranglah momentumnya menunjukkan kembali kejayaan bangsa ini. Mari kita keluar dari keterpurukan pembenahan sistem internal bangsa ini yang tak kunjung usai. Mari kita bangkit dari perbudakan neo kapitalisme globalisasinya barat, merdeka dari segala belenggu regulasi internasional yang memaksa Indonesia terus membungkuk. Kinilah saatnya Indonesia bangkit.
Jika PricewaterhouseCoopers Internasional telah memperkirakan bahwa Indonesia akan menjadi lima negara besar dunia pada tahun 2050. Namun dugaan saya perkiraan itu jauh bisa dipercepat jika dari sekarang kaum muda dilibatkan dalam pembangunan bangsa.

Jumat, 01 Juni 2012

FENOMENA PEMBANGUNAN DESA


Berbicara tentang pembangunan desa, selama ini sebagian diantara kita 
terlalu terpaku pada pembangunan berskala besar (atau proyek pembangunan) di 
wilayah pedesaan. Padahal pembangunan desa yang sesungguhnya tidaklah terbatas 
pada pembangunan berskala “proyek” saja, akan tetapi pembangunan dalam lingkup 
atau cakupan yang lebih luas. Pembangunan yang berlangsung di desa dapat saja 
berupa berbagai proses pembangunan yang dilakukan di wilayah desa dengan 
menggunakan sebagian atau seluruh sumber daya (biaya, material, sumber daya 
manusia) bersumber dari pemerintah (pusat atau daerah), selain itu dapat pula berupa 
sebagian atau seluruh sumber daya pembangunan bersumber dari desa. Apa 
sesungguhnya pembangunan desa ?
Sesungguhnya, ada atau tidak ada bantuan pemerintah terhadap desa, denyut 
nadi kehidupan dan proses pembangunan di desa tetap berjalan. Masyarakat desa 
memiliki kemandirian yang cukup tinggi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, 
mengembangkan potensi diri dan keluarganya, serta membangun sarana dan 
prasarana di desa. Namun demikian, tanpa perhatian dan bantuan serta stimulan dari 
pihak-pihak luar desa dan pemerintah proses pembangunan di desa berjalan dalam 
kecepatan yang relatif rendah. Kondisi ini yang menyebabkan pembangunan di desa 
terkesan lamban dan cenderung terbelakang. 
Jika melihat fenomena pembangunan masyarakat desa pada masa lalu, 
terutama di era orde baru, pembangunan desa merupakan cara dan pendekatan 
pembangunan yang diprogramkan negara secara sentralistik. Dimana pembangunan 
desa dilakukan oleh pemerintah baik dengan kemampuan sendiri (dalam negeri) 
maupun dengan dukungan negara-negara maju dan organisasi-organisasi 
internasional. Pembangunan desa pada era orde baru dikenal dengan sebutan 
Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), dan Pembangunan Desa (Bangdes). 
Kemudian di era reformasi peristilahan terkait pembangunan desa lebih menonjol 
“Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD)”. Dibalik semua itu, persoalan peristilahan 
tidaklah penting, yang terpenting adalah substansinya terkait pembangunan desa. 
Pada masa orde baru secara substansial pembangunan desa cenderung 
dilakukan secara seragam (penyeragaman) oleh pemerintah pusat. Program 
pembangunan desa lebih bersifat  top-down. Pada era reformasi secara substansial 
pembangunan desa lebih cenderung diserahkan kepada desa itu sendiri. Sedangkan 
pemerintah dan pemerintah daerah cenderung mengambil posisi dan peran sebagai 
fasilitator, memberi bantuan dana, pembinaan dan  pengawasan. Program 
pembangunan desa lebih bersifat bottom-up atau kombinasi buttom-up dan top-down.Top-down Planning. Perencanaan pembangunan yang lebih merupakan 
inisiatif pemerintah (pusat atau daerah). Pelaksanaannya dapat dilakukan oleh 
pemerintah atau dapat melibatkan masyarakat desa di dalamnya. Namun demikian, 
orientasi pembangunan tersebut tetap untuk masyarakat desa.
Bottom-up Planning. Perencanaan pembangunan dengan menggali potensi riil 
keinginan atau kebutuhan masyarakat desa. Dimana masyarakat desa diberi 
kesempatan dan keleluasan untuk membuat perencanaan pembangunan atau 
merencanakan sendiri apa yang mereka butuhkan. Masyarakat desa dianggap lebih 
tahu apa yang mereka butuhkan. Pemerintah memfasilitasi dan mendorong agar 
masyarakat desa dapat memberikan partisipasi aktifnya dalam pembangunan desa.
Kombinasi Bottom-up  dan Top-dowm Planning. Pemerintah (pusat atau 
daerah) bersama-sama dengan masyarakat desa membuat perencanaan 
pembangunan desa. Ini dilakukan karena masyarakat masih memiliki berbagai 
keterbatasan dalam menyusun suatu perencanaan dan melaksanakan pembangunan 
yang baik dan komprehensif. Pelaksanaan pembangunan dengan melibatkan dan 
menuntut peran serta aktif masyarakat desa dan pemerintah. 
Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa yang harus diperhatikan 
adalah harus bertolak dari kondisi existing desa tersebut. Esensi dari pembangunan 
desa adalah “bagaimana desa dapat membangun/ memanfaatkan/ mengeksploitasi 
dengan tepat (optimal, efektif dan efisien) segala potensi dan sumber daya yang 
dimiliki desa untuk memberikan rasa aman, nyaman, tertib serta dapat meningkatkan 
kesejahteraan masyarakat desa.
Pembangunan desa berkaitan erat dengan permasalahan sosial, ekonomi, 
politik, ketertiban, pertahanan dan keamanan dalam negeri. Dimana  masyarakat 
dinilai masih perlu diberdayakan dalam berbagai aspek kehidupan dan pembangunan. 
Oleh karena itu, perlu perhatian dan bantuan negara (dalam hal ini pemerintah) dan 
masyarakat umumnya untuk menstimulans percepatan pembangunan desa di 
berbagai  aspek kehidupan masyarakat. Bantuan masyarakat dapat berasal dari 
masyarakat dalam negeri maupun masyarakat internasional. Meskipun demikian, 
bantuan internasional melalui organisasi-organisasi internasional bukanlah yang 
utama, tetapi lebih bersifat bantuan pelengkap. Semua bentuk bantuan, baik yang 
bersumber dari pemerintah, swasta (dalam bentuk  Corporate Social Responsibility, 
hibah dan sebagainya), maupun organisasi-organisasi non-pemerintah (Lembaga 
Sosial Masyarakat) dalam negeri maupun internasional  adalah merupakan stimulus 
pembangunan di daerah pedesaan. Semestinya yang dikedepankan adalah 
kemampuan swadaya masyarakat desa itu sendiri.          
Pembangunan desa pada hakikatnya adalah segala bentuk aktivitas manusia 
(masyarakat dan pemerintah) di desa dalam membangun diri, keluarga, masyarakat 
dan lingkungan di wilayah desa baik yang bersifat fisik, ekonomi, sosial, budaya, 
politik, ketertiban, pertahanan dan keamanan, agama dan pemerintahan yang 
dilakukan secara terencana dan membawa dampak positif terhadap kemajuan desa. 
Dengan demikian, pembangunan desa sesungguhnya merupakan upaya-upaya sadar 
dari masyarakat dan pemerintah baik dengan menggunakan sumberdaya yang 
bersumber dari desa, bantuan pemerintah maupun bantuan organisasiorganisasi/lembaga domestik maupun internasional untuk  menciptakan perubahanperubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan-perubahan yang dilakukan manusia pada awalnya didorong oleh 
keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin maju suatu peradaban dan 
semakin kompleksnya kebutuhan hidup manusia akan mendorong umat manusia 
menggunakan kecerdasannya untuk melakukan upaya-upaya tertentu guna 
pemenuhan kebutuhannya. Upaya-upaya tersebut ditujukan untuk mencapai sesuatu 
yang lebih baik dalam pemenuhan kebutuhan.
Berbicara tentang pembangunan desa terdapat dua aspek penting yang 
menjadi objek pembangunan. Secara umum, pembangunan desa meliputi dua aspek 
utama, yaitu : 
(1) Pembangunan desa dalam aspek fisik, yaitu pembangunan yang objek utamanya 
dalam aspek fisik (sarana, prasarana dan manusia) di pedesaan seperti jalan 
desa, bangunan rumah, pemukiman, jembatan, bendungan, irigasi, sarana 
ibadah, pendidikan (hardware berupa sarana dan prasarana pendidikan, dan 
software berupa segala bentuk pengaturan, kurikulum dan metode pembelajaran), 
keolahragaan, dan sebagainya. Pembangunan dalam aspek fisik ini selanjutnya 
disebut Pembangunan Desa. 
(2) Pembangunan dalam aspek pemberdayaan insani, yaitu pembangunan yang objek 
utamanya aspek pengembangan dan peningkatan kemampuan, skill dan 
memberdayakan masyarakat di daerah pedesaan sebagai warga negara, seperti 
pendidikan dan pelatihan, pembinaan usaha ekonomi, kesehatan, spiritual, dan 
sebagainya. Tujuan utamanya adalah untuk membantu masyarakat yang masih 
tergolong marjinal agar dapat  melepaskan diri dari berbagai belenggu 
keterbelakangan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Pembangunan dalam 
aspek pemberdayaan insani ini selanjutnya disebut sebagai Pemberdayaan 
Masyarakat Desa.  
Pembangunan Desa  
Keterbelakangan pembangunan di daerah pedesaan turut berkontribusi 
terhadap terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota. Daerah perkotaan, terutama 
kota-kota besar di Indonesia mulai kewalahan menghadapi arus migrasi penduduk 
dari daerah pedesaan. Pemerintah pada berbagai kota besar setiap tahunnya 
dipusingkan oleh permasalahan yang muncul sebagai dampak dari tingginya arus 
masyarakat desa yang pindah ke kota. Memang perpindahan penduduk dari desa ke 
kota menimbulkan berbagai dampak di daerah perkotaan. Kedatangan penduduk 
desa di daerah perkotaan secara permanen selain membawa dampak positif juga 
menimbulkan dampak negatif. Permasalahan yang perlu mendapat perhatian adalah 
timbulnya dampak negatif akibat migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke daerah 
perkotaan. Dampak negatif yang ditimbulkan akan menambah permasalahan di 
daerah perkotaan, antara lain terjadi peledakan jumlah penduduk, munculnya 
berbagai masalah sosial seperti peningkatan pengangguran, peningkatan masyarakat 
miskin, gelandangan, tingginya kejadian kriminal dan sebagainya.        
Banyak pakar telah membicarakan tentang kecenderungan urbanisasi di 
Indonesia, diantaranya Parulian Sidabutar pada tahun 1993 mengemukakan bahwa 
meskipun derajat urbanisasi (persentase jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan) di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan standard dunia yang 
secara umum tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan tinggi. Pada tahun 1985 
jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan berjumlah 40,2 juta orang atau 27 persen 
dari seluruh penduduk Indonesia. Sekitar 73 persen penduduk masih bertempat 
tinggal di pedesaan. Pada tahun 2000 jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan 
meningkat menjadi 76 juta orang atau sekitar 36 persen dari seluruh penduduk. Ada 
kecenderungan jumlah penduduk yang berdomisili di daerah perkotaan mengalami 
peningkatan dari tahun ke tahun.
Data penduduk Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan proporsi yang 
bertempat tinggal di pedesaan dibandingkan dengan yang bertempat tinggal di 
perkotaan tidak lagi berbeda jauh yakni 113,7 juta jiwa di pedesaan, dan 106,2 juta 
jiwa  di perkotaan. Namun perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat dan 
pembangunan Sumber Daya Manusia di daerah pedesaan relatif jauh  tertinggal 
dibanding dengan daerah perkotaan. Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan 
resmi dari pemerintah pada bulan Agustus 2006 bahwa  angka kemiskinan telah 
mencapai 39,1 juta jiwa atau 17,8 persen dari jumlah  penduduk Indonesia (BPS, 
2005). 
Beberapa komponen penyumbang tingginya pertumbuhan penduduk di 
perkotaan  adalah tingkat kelahiran yang relatif tinggi, dan tingkat perpindahan 
penduduk dari pedesaan ke perkotaan yang relatif tinggi. Fokus perhatian di sini 
adalah masih tingginya tingkat perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke 
daerah perkotaaan. Perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah 
perkotaan tidak terjadi begitu saja, akan tetapi didorong oleh berbagai faktor baik yang 
bersumber dari perkotaan maupun yang bersumber dari pedesaan. Secara umum, 
faktor-faktor yang menyebabkan atau mendorong perpindahan penduduk dari daerah 
pedesaan ke daerah perkotaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu : (1). Faktor yang 
bersumber dari daerah perkotaan, dan (2). Faktor yang bersumber dari daerah 
pedesaan. 
Faktor-faktor yang bersumber dari daerah perkotaan sangat erat kaitannya 
dengan pertumbuhan pembangunan di daerah perkotaan yang sangat dahsyat. Faktor 
yang bersumber dari daerah perkotaan disebut sebagai  faktor penarik, dimana 
pindahnya penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan disebabkan oleh 
adanya daya tarik daerah perkotaan yang mempesona. Daya tarik kuat daerah 
perkotaan, antara lain : 
a. Kota sebagai pusat pemerintahan
Sebagai pusat pemerintahan, kota memiliki lembaga-lembaga pemerintahan 
yang menjadi bagian utama dari kota sebagai pusat pemerintahan. Mereka yang 
bekerja di sektor pemerintahan tidak semuanya merupakan warga asli perkotaan, 
sebagian besar dari karyawan sektor pemerintahan adalah berasal dari penduduk 
pedesaan. Biasanya posisi kota sebagai pusat pemerintahan akan diikuti dengan 
munculnya berbagai lembaga lain di luar pemerintahan seperti organisasi, 
lembaga atau badan-badan non pemerintah (LSM), yayasan-yayasan, badanbadan swasta yang bergerak di berbagai bidang. 
Organisasi, lembaga atau badan-badan tersebut memiliki anggota, pengurus
dan pegawai yang tidak hanya berasal dari penduduk asli perkotaan, tetapi juga penduduk yang berasal dari pedesaan. Selain itu, kota sebagai pusat 
pemerintahan dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasana pendukung yang 
diikuti pula tumbuhnya sektor lain seperti sektor informal, misalnya warung 
makanan dan minuman, warung rokok, fotocopy, dan sebagainya. Secara 
langsung maupun tidak langsung menarik orang untuk mengambil peran dan 
memanfaatkan peluang yang ada. Dengan demikian, kota sebagai pusat 
pemerintahan menjadi salah satu daya tarik penduduk daerah pedesaan untuk 
pindah ke daerah perkotaan.
b. Kota sebagai pusat perekonomian
Pertumbuhan kota sebagai pusat perekonomian terkait erat dengan 
berkembangnya berbagai aktivitas ekonomi di wilayah perkotaan. 
 Pusat Perdagangan
Sebagian terbesar penduduk yang bertempat tinggal di daerah 
perkotaan bermatapencaharian bukan sebagai petani. Untuk pemenuhan 
kebutuhan hidup sehari-hari mereka membeli dari para pedagang. Kondisi ini 
mendorong tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat perbelanjaan, pasar, 
toko, warung dan bahkan pedagang keliling. Mereka yang bekerja atau 
berprofesi di sektor perdagangan ini bukan hanya penduduk asli daerah 
perkotaan, sebagian dari mereka adalah penduduk yang  berasal dari daerah 
pedesaan.  Penduduk daerah pedesaan tertarik untuk pindah ke daerah 
perkotaan untuk mencari pekerjaan atau bekerja di sektor jasa perdagangan 
atau mengadu peruntungan dengan berprofesi sebagai pedagang.
 Pusat Industri
Kebutuhan hidup manusia baik yang berdomisili di daerah perkotaan 
maupun yang berdomisili di daerah pedesaan tidak hanya terbatas pada 
makan dan minum, tetapi seiring perkembangan peradaban manusia 
kebutuhan hidup semakin berkembang dan beragam. Pada masa lalu, orang 
sudah sangat senang jika telah tercukupi kebutuhan pangan, sandang dan 
papan. Kebutuhan pangan, sandang dan papan-pun tidak berlebihan, dengan 
terpenuhi kebutuhan minimal atau sedikit di atas kebutuhan minimal orang 
sudah merasa puas. 
Kondisi tersebut kini sudah jauh berbeda, dimana tuntutan dan 
kebutuhan hidup sudah sangat beragam dan tidak lagi hanya berorientasi pada 
pemenuhan pangan, sandang dan papan yang sederhana saja. Pada masa 
lalu tidak ada televisi, handphone, sepeda motor, mobil, gedung mewah, 
sepatu ber-merk, pakaian yang penuh sensasi fashion, makanan siap saji, 
minuman kemasan, makanan instant yang dapat dibawa jauh dan disimpan 
lama, berbagai barang aksesoris (jam tangan, kalung, gelang, anting, cincin), 
dan sebagainya. Kini barang-barang tersebut sudah menjadi kebutuhan, 
tuntutan dan bahkan menjadi simbol modernisasi dalam kehidupan dan 
pergaulan masyarakat daerah perkotaan. Cara dan gaya hidup yang demikian 
telah pula masuk dan melanda kehidupan dan pergaulan masyarakat di daerah 
pedesaan. Barang-barang yang dikategorikan sebagai simbol modernisasi tersebut 
diproduksi oleh pabrik-pabrik atau industri manufaktur yang umumnya berada 
di daerah perkotaan. Mereka yang bekerja di sektor ini bukan saja orang-orang 
yang asli berdomilisi di daerah perkotaan, melainkan juga orang-orang yang 
berasal dari daerah pedesaan. Dengan demikian, kota sebagai pusat industri 
telah menjadi daya tarik kuat penduduk dari daerah pedesaan untuk pindah ke 
daerah perkotaan dalam mengadu peruntungan untuk bekerja di sektor 
perindustrian.
 Pusat Industri Jasa dan Hiburan
Seiring dengan semakin besarnya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, 
maka tumbuh dan berkembang pula berbagai industri yang berupaya 
memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat tersebut, diantaranya industri jasa 
dan hiburan. Industri jasa tumbuh pesat di kawasan perkotaan untuk 
membantu dalam pemenuhan keinginan-keinginan dan kebutuhan masyarakat 
daerah perkotaan seperti pelayanan angkutan (darat, laut dan udara), jasa 
penitipan dan pengiriman barang, jasa konsultasi, perbankan dan sebagainya. 
Selain itu, pola hidup masyarakat perkotaan yang seolah berpacu 
dengan waktu (time is money) menuntut masyarakat kota untuk bekerja lebih 
giat dengan tuntutah jam kerja yang tinggi. Mereka yang tidak mampu 
memanfaat waktu dan peluang yang tersedia akan terlindas oleh waktu dan 
persaingan. Itu artinya tuntutan kerja keras menjadi hal utama. Sehingga di 
daerah perkotaan muncul fenomena pada jam-jam tertentu terjadi kepadatan 
arus lalu lintas (saat berangkat ke lokasi kerja pada pagi hari, dan saat pulang 
kerja pada sore dan menjelang malam hari). Kondisi ini berlangsung secara 
terus-menerus dari hari ke hari sepanjang tahun. Kesibukan warga kota yang 
begitu tinggi, memunculkan tuntutan dan kebutuhan akan hiburan (refreshing). 
Kebutuhan akan hiburan ini membuka peluang dan lapangan pekerjaan baru 
dalam bentuk industri hiburan seperti bar, tempat karaoke, tempat wisata, 
kafetaria, pertunjukan film, televisi yang menawarkan beragam acara hiburan, 
panti pijat, dan sebagainya. 
Mereka yang bekerja di sektor industri jasa dan hiburan ini bukan hanya 
berasal dari masyarakat yang asli berdomisili di daerah perkotaan, tetapi juga 
berasal dari daerah pedesaan. Dengan demikian, kota sebagai pusat industri 
jasa dan hiburan turut pula menjadi salah satu faktor yang menarik penduduk 
dari daerah pedesaan pindah ke daerah perkotaan. 
                  
c. Kota sebagai pusat perkembangan peradaban
Perkembangan peradaban manusia tidak terlepas dari perkembangan dan 
kemampuan olah pikir yang dimiliki manusia. Sentral dari aktivitas  ini adalah 
kemajuan intektualitas manusia yang terus mengalami perkembangan yang pesat. 
Hal ini tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kamajuan 
ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri bersumber dari berkembangnya dunia 
pendidikan yang berkualitas. Terkait dengan pendidikan yang berkualitas, tidak 
diragukan lagi bahwa pendidikan yang berkualitas erat kaitannya dengan proses 
pembelajaran yang berkualitas, dukungan fasilitas yang memadai, sumber daya manusia fasilitator pembelajaran yang berkualitas dan lingkungan yang egaliter. 
Semuanya secara meyakinkan tersedia di daerah perkotaan. 
Kondisi tersebut mendorong pertumbuhan lembaga pendidikan di daerah 
perkotaan menjadi jauh lebih cepat dan lebih maju daripada daerah pedesaan. 
Sehingga  generasi muda di daerah pedesaan berlomba-lomba meninggalkan 
desanya menuju kota untuk memperoleh tempat menimba ilmu (sekolah atau 
perguruan tinggi) yang ternama atau terkenal. Kondisi ini memicu terjadinya 
perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan dalam jumlah 
yang cukup besar. Lebih jauh lagi, kelompok muda yang bermigrasi dari daerah 
pedesaan ke daerah perkotaan ini hanya sebagian kecil yang kembali lagi ke desa 
untuk hidup dan menetap di desa. Sebagian besar lainnya memilih mencari kerja 
atau penghidupan di daerah perkotaan dan menetap di daerah perkotaan. Dengan 
demikian, kota sebagai pusat perkembangan peradaban turut pula menjadi salah 
satu faktor yang menarik penduduk dari daerah pedesaan pindah ke daerah 
perkotaan. 
        
Perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan selain  
disebabkan daya tarik magnet kota sebagaimana diuraikan di atas, terdapat pula 
faktor lain. Faktor lain yang dimaksud adalah faktor pendorong. Faktor yang  
menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah 
perkotaan yang bersumber dari kondisi internal daerah pedesaan itu sendiri. Faktorfaktor yang bersumber dari internal daerah pedesaan inilah yang disebut sebagai 
faktor pendorong. Pindahnya penduduk daerah pedesaan ke daerah perkotaan 
didorong oleh kondisi ketertinggalan daerah pedesaan dalam berbagai aspek 
kehidupan. Berbagai faktor internal daerah pedesaan yang mendorong penduduk dari 
daerah pedesaan untuk berhijrah atau pindah ke daerah perkotaan, antara lain :
a. Keterbelakangan perekonomian di pedesaan
Jika di daerah perkotaan geliat perekonomian begitu fenomenal dan pantastis. 
Sebaliknya, hal yang berbeda terjadi di daerah pedesaan, dimana geliat 
perekonomian berjalan lamban dan hampir tidak menggairahkan. Roda 
perekonomian di daerah pedesaan didominasi oleh aktivitas produksi. Aktivitas 
produksi yang relatif kurang beragam dan cenderung monoton pada sektor 
pertanian (dalam arti luas : perkebunan, perikanan, petanian tanaman pangan dan 
hortikultura, peternakan, kehutanan, dan produk turunannya). Kalaupun ada 
aktivitas di luar sektor pertanian jumlah dan ragamnya masih relatif sangat 
terbatas. 
Aktivitas perekonomian yang ditekuni masyarakat di daerah pedesaan tersebut 
sangat rentan terhadap terjadinya instabilitas harga. Pada waktu dan musim 
tertentu produk (terutama produk pertanian) yang berasal dari daerah pedesaan 
dapat mencapai harga yang begitu tinggi dan pantastik. Namun pada waktu dan 
musim yang lain, harga produk pertanian yang berasal dari daerah pedesaan 
dapat anjlok ke level harga yang sangat rendah. Begitu rendahnya harga produk 
pertanian menyebabkan para petani di daerah pedesaan enggan untuk memanen 
hasil pertaniannya, karena biaya panen lebih besar dibandingkan dengan harga 
jual produknya. Kondisi seperti ini menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi 
petani. Kondisi seperti ini hampir selalu terjadi sampai saat ini. Namun demikian, suatu 
ironi bagi pemerintah, karena belum dapat memberikan solusi tepat. Masih segar 
dalam ingatan kita, pada tahun 2010, cabai mencapai harga di atas Rp.100.000,-
per kilogram dan merupakan harga tertinggi sepanjang sejarah. Kondisi berbalik 
terjadi pada bulan-bulan di awal tahun 2011, dimana harga cabai mengalami 
penurunan secara drastis. Beberapa daerah harga cabai  mencapai di bawah Rp. 
10.000,- per kilogram. Kasus yang mirip terjadi beberapa tahun sebelumnya, 
petani tomat mengalami masa-masa pahit. Harga buah tomat sangat rendah, 
sehingga biaya produksi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual hasil 
panen tomat. Petani enggan memanen tomatnya dan lebih memilih untuk 
membiarkan buah tomat membusuk di kebun atau melakukan pemusnahan 
tanaman tomat dan menggantikan dengan tanaman lain yang berbeda. Kejadian 
serupa pada produk pertanian lainnya seringkali terjadi  dan menerpa kehidupan 
para petani di daerah pedesaan. 
Meskipun penduduk di daerah pedesaan mayoritas bermatapencaharian 
sebagai petani, namun tidak semua petani di daerah pedesaan memiliki lahan 
pertanian yang memadai. Banyak diantara mereka memiliki lahan pertanian 
kurang dari 0,5 hektar, yang disebut dengan istilah petani gurem. Lebih ironis lagi, 
sebagian dari penduduk di daerah pedesaan yang malah tidak memiliki lahan 
pertanian garapan sendiri. Mereka berstatus sebagai petani penyewa, penggarap 
atau sebagai buruh tani. Petani penyewa adalah para petani yang tidak memiliki 
lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan menyewa lahan pertanian milik 
orang lain. Petani penggarap adalah para petani yang tidak memiliki lahan 
pertanian garapan milik sendiri melainkan menggarap lahan pertanian milik orang 
lain dengan sistem bagi hasil atau lainnya. Buruh tani adalah petani yang tidak 
memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan bekerja sebagai buruh 
yang menggarap lahan pertanian milik orang lain dengan memperoleh upah atas 
pekerjaannya.  
Kondisi tersebut berpengaruh terhadap hidup dan penghidupan keluarga petani 
di daerah pedesaan. Perekonomian masyarakat di daerah pedesaan yang kurang 
menguntungkan ini mendorong penduduk daerah pedesaan untuk pindah dari 
daerah pedesaan ke daerah perkotaan. Keluarga petani terdorong untuk mencari 
sumber penghidupan yang lain di luar desanya. Daerah yang banyak menjadi 
tujuan mereka adalah daerah perkotaan. Mereka nekad keluar dari desanya untuk 
mencari pekerjaan dan mengadu nasib di daerah perkotaan. Meskipun di daerah 
perkotaan mereka belum tentu memperoleh pekerjaan yang lebih baik. 
                   
b. Minimnya sarana dan prasarana di pedesaan
Salah satu keterbelakangan yang dialami daerah pedesaan di Indonesia dapat 
dilihat dari aspek pembangunan sarana dan prasarana. Beberapa sarana dan 
prasarana pokok dan penting di daerah pedesaan, antara lain :
 Prasarana dan sarana transportasi
Salah satu prasarana dan sarana pokok dan penting untuk membuka 
isolasi daerah pedesaan dengan daerah lainnya adalah prasarana transportasi 
(seperti jalan raya, jembatan, prasarana transportasi laut, danau, sungai dan 
udara), dan sarana transportasi (seperti mobil, sepeda motor, kapal laut, perahu mesin, pesawat udara dan sebagainya). Ketersediaan parasarana dan sarana 
transportasi yang memadai akan mendukung arus orang dan barang yang 
keluar dan masuk ke daerah pedesaan. Untuk mendorong peningkatan 
dinamika masyarakat daerah pedesaan akan arus transportasi orang dan 
barang  keluar dan masuk dari dan ke daerah pedesaan, diperlukan prasarana 
dan sarana transportasi yang memadai.  
Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Syaifulah Yusuf, 
dalam seminar tentang “Strategi Pembangunan Desa” di Hotel Bidakara, 
Jakarta, Selasa 12 September 2006, mengemukakan bahwa sekitar 45 persen 
atau sebanyak 32.379 Desa di Indonesia termasuk dalam kategori Desa 
Tertinggal (Ken Yunita, 2006).
Salah satu penyebab daerah pedesaan masih terisolasi atau tertinggal 
adalah masih minimnya prasarana dan sarana transportasi yang membuka 
akses daerah pedesaan dengan daerah lainnya. Kondisi prasarana dan sarana 
transportasi yang minim berkontribusi terhadap keterbelakangan ekonomi 
daerah pedesaan. Secara umum, masyarakat daerah pedesaan menghasilkan 
jenis produk yang relatif sama, sehingga transaksi jual beli barang atau produk 
antar sesama penduduk di suatu desa relatif kecil. Dalam kondisi prasarana dan 
sarana transportasi yang minim, produk yang dihasilkan masyarakat daerah 
pedesaan sulit untuk diangkut dan dipasarkan ke daerah lain. Jika dalam 
kondisi seperti itu, masyarakat daerah pedesaan menghasilkan produk 
pertanian dan non pertanian dalam skala besar, maka produk tersebut tidak 
dapat diangkut dan dipasarkan ke luar desa dan akan menumpuk di desa. 
Penumpukan dalam waktu yang lama akan menimbulkan kerusakan dan 
kerugian. Kondisi seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi warga 
masyarakat di daerah pedesaan. Sebaliknya, hal tersebut akan mendorong 
sebagian warga masyarakat di daerah pedesaan untuk merantau  atau 
berpindah ke daerah lain terutama daerah perkotaan yang dianggap lebih 
menawarkan masa depan yang lebih baik.
          
 Prasarana dan sarana pendidikan yang kurang memadai
Sebagian dari masyarakat di daerah pedesaan telah memiliki kesadaran 
untuk mendidik anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan 
prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan dan gedung sekolah di 
daerah pedesaan relatif terbatas. Ketersediaan prasarana pendidikan di daerah 
pedesaan yang masih kurang memadai dapat terlihat dari terbatasnya jumlah 
lembaga pendidikan serta kondisi fisik bangunan sekolah yang kurang 
representatif (rusak, tidak terawat dengan baik, kekurangan jumlah ruang kelas 
dan sebagainya). Selain itu, sarana pendidikan di daerah pedesaan juga sangat 
terbatas seperti kurangnya ketersediaan buku-buku ajar, kondisi kursi dan meja 
belajar yang seadanya, tidak tersedianya sarana belajar elektronik, tidak 
tersedianya alat peraga dan sebagainya. Keterbatasan prasarana dan sarana 
pendidikan di daerah pedesaan mendorong sebagian masyarakat daerah 
pedesaan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke luar desa terutama ke 
daerah perkotaan. Hal ini turut mendorong laju migrasi penduduk dari daerah 
pedesaan ke daerah perkotaan.
         c. Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan
Indonesia sebagai negara agraris sampai saat ini dapat dilihat dari besarnya 
jumlah penduduk yang masih mengandalkan penghasilannya serta 
menggantungkan harapan hidupnya pada sektor pertanian. Dominasi sektor 
pertanian sebagai matapencaharian penduduk dapat terlihat nyata di daerah 
pedesaan. Sampai saat ini lapangan kerja yang tersedia di daerah pedesaan masih 
didominasi oleh sektor usaha bidang pertanian. Kegiatan usaha ekonomi produktif di 
daerah pedesaan masih sangat terbatas ragam dan jumlahnya, yang cenderung 
terpaku pada bidang pertanian (agribisnis). Aktivitas usaha dan matapencaharian 
utama masyarakat di daerah pedesaan adalah usaha pengelolaan/ pemanfaatan 
sumber daya alam yang secara langsung atau tidak langsung ada kaitannya dengan 
pertanian. Bukan berarti bahwa lapangan kerja di luar sektor pertanian tidak ada, akan 
tetapi masih sangat terbatas.  Peluang usaha di sektor non-pertanian belum mendapat 
sentuhan yang memadai dan belum berkembang dengan baik. Kondisi ini mendorong
sebagian penduduk di daerah pedesaan untuk mencari usaha lain di luar desanya, 
sehingga mendorong mereka untuk berhijrah/migrasi dari daerah pedesaan menuju 
daerah lain terutama daerah perkotaan. Daerah perkotaan dianggap memiliki lebih 
banyak pilihan dan peluang untuk bekerja dan berusaha.  
Upaya untuk mendorong dan melepaskan daerah pedesaan dari berbagai 
ketertinggalan atau keterbelakangan, maka pembangunan desa dalam aspek  fisik 
perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan komponen masyarakat lainnya. 
Pembangunan desa dalam aspek fisik, selanjutnya dalam tulisan ini disebut 
Pembangunan Desa, merupakan upaya pembangunan sarana, prasarana dan 
manusia di daerah pedesaan yang merupakan kebutuhan masyarakat daerah 
pedesaan dalam mendukung aktivitas dan kehidupan masyarakat pedesaan.  
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa betapa daerah pedesaaan 
memerlukan adanya ketersediaan prasarana dan sarana fisik dalam hidup dan 
kehidupan masyarakat desa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 
tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan Desa adalah kesatuan 
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk 
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul 
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan 
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak untuk mengurus kepentingan daerahnya 
sendiri (dalam istilah modern disebut “hak otonomi”). Hak otonomi sifatnya sangat 
luas. Hampir semua hal yang menyangkut urusan di desa. Hanya saja tingkat materi 
dan cara pelaksanaan atau pengerjaannya masih sangat sederhana, termasuk hal-hal 
yang berkaitan dengan pembangunan desa.
Bercermin dari masa lalu, di era orde baru pemerintahan bersifat sangat 
sentralistik yang mengusung konsep filosofi  keseragaman. Segala sesuatu yang 
berkaitan dengan pembangunan diseragamkan, diatur dan dikendalikan dari pusat. 
Sementara bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, lebih dari 70.000 
buah desa dengan karakter, budaya dan tradisi yang berbeda satu sama lain. Konsep 
keseragaman yang diusung dan dipaksakan pada masa lalu, kini sudah tidak tepat 
lagi. Oleh karenanya, konsep pembangunan desa ke depan tidak dapat dilakukan 
dengan pola keseragaman.
Seiring dengan perubahan paradigma pemerintahan sentralistik ke paradigma 
pemerintahan desentralistik, maka seyogyanya pembangunan desa lebih mengedepankan konsep  keanekaragaman dalam kesatuan dan bukan konsep 
keseragaman. Pembangunan desa dengan konsep keanekaragam dalam kesatuan, 
diharapkan mampu mendorong dinamika pembangunan desa yang berbasis budaya 
dan karakteristik lokal yang pada akhirnya akan memperkaya keragaman nuansa 
etnik dalam pembangunan bangsa. Masyarakat dan pemerintah desa diberi 
kekeluasaan untuk memperkaya warna dan model pembangunan desanya dengan 
kekayaan etnik yang mereka miliki. Upaya tersebut diharpakan akan menumbuhkan 
dan memupuk partisipasi aktif dan rasa tanggung jawab masyarakat dalam 
membangun desa.
Peran pemerintah (pusat dan daerah) dalam pembangunan desa ditempatkan 
pada posisi yang tepat. Pemerintah diharapkan berperan dalam memberi motivasi, 
stimulus, fasilitasi, pembinaan, pengawasan dan hal-hal yang bersifat bantuan 
terhadap pembanguan desa. Untuk kepentingan dan tujuan tertentu, intervensi 
pemerintah terhadap pembangunan desa dapat saja dilakukan setelah melalui kajian 
dan pertimbangan yang matang dan komprehensif. Intervensi yang dimaksudkan di 
sini adalah turut campur secara aktif dan bertanggungjawab pemerintah dalam proses 
pembangunan desa, seperti membuka keterisolasian desa (karena ketiadaan biaya, 
desa tidak mampu melepaskan diri dari keterisolasian), membangun fasilitas jalan, 
jembatan, gedung sekolah, puskesmas dan sebagainya. Meskipun pemerintah 
melakukan intervensi terhadap proses pembangunan fasilitas tertentu di daerah 
pedesaan, pemerintah tidak boleh mengabaikan potensi setempat, jangan sampai 
pemerintah mengabaikan keberadaan masyarakat setempat, dan masyarakat jangan 
sampai hanya diposisikan sebagai penonton. Keterlibatan masyarakat sangat 
diperlukan dalam pembangunan desa. Karena proses pembangunan desa bukan 
hanya sebatas membangun prasarana dan sarana yang diperlukan, tetapi proses 
pembangunan desa memerlukan waktu yang panjang, banyak pengorbanan, dan 
bertalian dengan banyak pihak dalam masyarakat termasuk masyarakat di daerah 
pedesaan. Proses pembangunan desa dimulai dari tahap pengkajian, perencanaan, 
pelaksanaan, dan pemeliharaan. Seyogyanya pada semua tahapan pembangunan 
desa ini terjadi keterlibatan partisipasi aktif masyarakat daerah pedesaan. 
Bertolak dari konsep dan praktik pembangunan desa pada masa lalu yang 
bersifat sentralistik. Potensi masyarakat lokal seringkali dikesampingkan oleh 
pelaksana di lapangan. Hal ini yang menyebabkan hasil pembangunan yang telah 
dilakukan tidak memberikan dampak dan manfaat yang luas bagi masyarakat. 
Seringkali terjadi kerusakan bahkan hancur sebelum usia pakainya habis. Karena 
tidak muncul kepedulian dan rasa tanggung jawab pada masyarakat dalam 
memelihara atau menjaga prasarana dan sarana yang telah dibangun oleh 
pemerintah. Meskipun sesungguhnya prasarana dan sarana yang dibangun oleh 
pemerintah ditujukan untuk kepentingan masyarakat di daerah pedesaan itu sendiri.
Sebaliknya, jika suatu proyek pembangunan prasarana dan sarana yang 
muncul dari masyarakat daerah pedesaan, direncanakan, dan dilaksanakan secara 
bersama oleh masyarakat daerah pedesaan, maka kepedulian dan rasa memiliki dari 
masyarakat sangat tinggi. Masyarakat secara sadar dan tanpa pamrih turut 
berpartisipasi aktif untuk mensukseskan pembangunan tersebut. Hal ini berdampak 
pula pada munculnya rasa tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga 
keberlangsungan pembangunan dan hasil pembangunannya.  Oleh karena itu, perlu diingat bahwa pembangunan desa dalam aspek  
pembangunan fisik, pembangunan prasarana dan sarana di daerah pedesaan 
semestinya menempatkan penduduk atau masyarakat desa sebagai subjek 
pembangunan. Sebagai subjek pembangunan menunjukkan bahwa masyarakat 
daerah pedesaan berperan sebagai pelaku pembangunan. Sudah semestinya 
masyarakat sebagai pelaku pembangunan mengambil posisi untuk berperan secara 
aktif dalam proses pembangunan. Peran aktif masyarakat dapat diwujudkan dalam 
berbagai bentuk keterlibatan atau pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan, 
apakah pada tahap pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan atau pada 
semua tahap proses pembangunan tersebut. Di masa mendatang pola pembangunan 
yang mengedepankan peran masyarakat lebih didorong untuk menjadi ujung tombak 
dalam pembangunan desa. Pola  bottom-up planning mungkin menjadi salah satu 
alternatif yang mengedepan. Pemerintah menempatkan diri sebagai motivator dan 
fasilitator aktif (tentunya tidak berpangku tangan hanya menunggu dari masyarakat). 
Pemerintah memotivasi masyarakat untuk membangun daerahnya seraya pemerintah 
menyiapkan bantuan prasarana, sarana dan dana yang dibutuhkan. Pemerintah juga 
dapat melemparkan ide-ide pembangunan desa kepada masyarakat. Namun dalam 
tahap berikutnya masyarakat dilibatkan dalam menentukan keputusan mengenai apa 
yang akan dibangun, membuat dan menyusun rencana pembangunan, dalam 
pelaksanaan pembangunan sampai pada pemeliharaan hasil pembangunan.
Berkaitan dengan manusia (penduduk daerah pedesaan) sebagai subjek 
pembangunan, maka dituntut berbagai hal terhadap kapasitas dan kualitas manusia 
itu sendiri. Salah satu tuntutan peran sebagai subjek (pelaku) pembangunan yang 
semestinya dapat dan mampu dipenuhi oleh masyarakat di daerah pedesaan adalah 
kemampuan menciptakan atau daya cipta. Soedjatmoko (1995) mengemukakan 
bahwa pengembangan (pemekaran) daya cipta suatu bangsa bukan saja suatu 
kemampuan serta kejadian individual, melainkan juga suatu proses sosial yang 
ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial pula. Maksudnya adalah adanya lembaga dan 
kebijaksanaan yang diperlukan untuk mencapai perkembangan daya cipta dalam 
pembangunan masyarakat.
Bahwasanya untuk lebih menggerakkan dan memacu pembangunan desa 
secara lebih berdaya guna dan berhasil guna, maka yang pertama dan utama perlu 
dibangun adalah manusia sebagai pelaku dan calon pelaku pembangunan itu sendiri. 
Kritik bagi model pembangunan kita selama ini adalah bangsa kita lebih cenderung 
mengedepankan pembangunan fisik daripada pembangunan manusianya. 
Soedjatmoko (1995) mengemukakan bahwa pada pembangunan ekonomi ada 
kecenderungan mengaggap esensi pertumbuhan ekonomi ialah besarnya penanaman 
modal untuk keperluan produksi. Ini dianggap faktor paling menentukan untuk 
mencapai suatu tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Peneropongan teoritis, lebih 
berkisar pada soal penentuan besar kecilnya penanaman modal yang diperlukan 
untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih pesat. Penanaman modal dipandang 
lebih menentukan daripada cacah jiwanya., sehingga kurang mendapat perhatian dan 
berjalan sendiri. Kalaupun faktor seperti pendidikan, stabilitas politik dan faktor sosial 
lainnya turut ditinjau, peninjauan itupun tetap berporos pada investasi modal. 
Berdasarkan kondisi tersebut, maka ke depan kita perlu menata ulang format 
pembangunan desa. Bangsa ini harus memilah, memilih dan menata secara lebih arif. Tidak mungkin lagi membuat kebijakan pembangunan yang seragam untuk semua 
desa. Akan tetapi, kita perlu secara arif dan bijaksana melihat desa per desa dari 
berbagai aspek. Bagi desa yang sudah memiliki manusia (penduduk) yang 
berkualitas, maka  perlu didorong dan distimulir untuk memacu percepatan 
pembangunan desa dalam semua aspek. Sebaliknya, jika suatu desa yang belum 
memiliki kualitas dan kuantitas manusia yang mumpuni, maka perlu didorong untuk 
lebih mengedepankan pembangunan manusianya, seperti pendidikan, pembimbingan, 
pelatihan dan sebagainya. Pembangunan manusia dalam konteks pengembangan 
daya cipta. Daya cipta dalam perspektif yang luas, termasuk melakukan pembaharuan 
dan penemuan atas berbagai hal terkait kehidupan manusia seperti menambah dan 
mengembangkan  berbagai macam alat  (instrument) dan cara  (metode/teknik) yang 
berguna dalam menunjang atau mendukung kehidupan masyarakat di daerah 
pedesaan atau masyarakat luas.****  
     
Tulisan ini cuplikan dari isi buku yang berjudul :  “DESA : Tantangan dan Harapan”
Penulis :  Dr. Ir. Ali Hanapiah Muhi, MP
Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor, Jawa Barat, 2011

Membangun Sistem Informasi Berbasis Desa


Tata Kelola Pembangunan Berbasis Teknologi Informasi
Dalam ranah sistem perencanaan pembangunan, kedudukan data dan informasi semestinya menempati tahta yang tinggi. Data dan informasi ibarat panca indera pemerintah dalam siklus pembangunan mulai menyusun visi, mengetahui, menganalisa, merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengawasi dan mencapai hasil pembangunan. Begitu seterusnya.
Sayang dinegeri kita tercinta ini informasi yang jujur agak susah didapat. Informasi yang jujur disini adalah informasi yang mengandalkan validitas data. Tidak ternoda oleh kepentingan-kepentingan yang membuat data tidak dapat menginformasikan kondisi riil, namun menginformasikan kondisi asumsi yang semu.
Data akan menjadi informasi yang berarti, ketika dia memiliki karakteristik berikut. Pertama; relevant, artinya data tersebut mampu mengurangi koefisien ketidakpastian sehingga benar-benar bisa diacu sebagai dasar pengambilan keputusan. Kedua;reliable, data bebas dari kesalahan atau bisa secara tepat menggambarkan keadaan sebenarnya. Ketiga; complete, dapat secara lengkap menyajikan segala aktifitas dari realita yang diukurnya. Keempat; Timely, menyediakan data sesuai atau tepat waktu kejadian yang diukurnya. Kelima; Understandable, data disajikan dalam format dan bahasa yang dapat dipahami. Keenam; Verifiable, data dapat dijamin ketepatannya melalui proses check dan cross check dengan data atau informasi lain yang relatif sama.
Banyak masalah besar dinegeri kita ini yang terjadi akibat tidak validnya informasi yang digunakan pada satu kebijakan. Seperti data pemilih tetap (DPT) pada event pemilu 2009 yang banyak memunculkan keraguan. Ini dikarenakan data yang tersedia tidak atau kurang memenuhi karakateristik sebagai informasi yang valid.
Belum lagi pada tataran pelaksanaan pembangunan, tidak sedikit daerah yang sama sekali mengabaikan pentingnya data pokok daerah atau database daerah. Bayangkan saja, pada satu daerah dalam kurun lima tahun tidak pernah menyusun sebuah dokumen data pokok daerah baik di awal ataupun diakhir kepemimpinan.
Pertanyaanya ketika rezim tersebut menyatakan telah mencapai hasil maksimal dalam pembangunan, berdasarkan pijakan data yang mana? Sektor pertanian meningkat sekian puluh bahkan sekian ratus persen, dasar perhitungannya dari mana? Kalau cuman patokannya berdasar asumsi pertumbuhan tahun yang lalu, ya sama juga bohong dong! Berarti data tersebut sangat tidak valid karena berdasar pada angka yang tidak reliableStarting point aja ga jelas bagai­mana ending pointnya bisa ditentukan?
Bukankah Ada BPS?
Ada yang kemudian berkata, bukankah kita telah memiliki data yang selalu diupdate setiap tahun melalui Badan Pusat Statistik. Apakah itu tidak cukup untuk dijadikan dasar bagi perencanaan pembangunan? Sebelum berdiskusi lebih jauh, mari kita buka lagi UU No 16/1997 tentang Statistik. Ada tiga jenis statistik menurut UU ini yaitu statistik dasar, statistik sektoral, dan statistik khusus.
Statistik dasar adalah statistik yang pemanfaatannya ditujukan untuk keperluan yang bersifat luas, baik bagi pemerintah maupun masyarakat, yang memiliki ciri-ciri lintas sektoral, berskala nasional, makro dan yang penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab BPS. Hasil-hasil statistik dasar ini dapat dimanfaatkan pihak-pihak lain untuk membangun statistik sektoral.
Statistik sektoral adalah statistik yang pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan instansi tertentu dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang merupakan tugas pokok instansi bersangkutan, tetapi dapat dilaksanakan bersama BPS.
Statistik khusus adalah statistik yang pemanfaatannya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan spesifik dunia usaha, pendidikan, sosial budaya, dan kepentingan lain dalam kehidupan masyarakat, yang penyelenggaraannya dilakukan lembaga, organisasi, perorangan secara mandiri atau bersama dengan BPS.
Dari definisi yang termaktub dalam UU tersebut jelas sekali bahwa data BPS adalah data statistik dasar yang bersifat makro. Ditambah lagi tipe data dari BPS adalah data statistik. Statistic kurang lebih berarti “satu ukuran yang diperoleh atau berasal dari sampel"
Sewaktu kecil saya sering bermain pesan berantai. Ada 10 teman berbaris, kemudian yang pertama membisikkan 10 kata. Yakin saya pesan yang diterima pada teman ke 10 akan berubah bentuk, bisa dalam susunan kata, bunyi bahkan arti. Ini baru 10 orang bagaimana kalau populasi ditambah.
Perlu diingat dalam dunia statistik ada suatu kaidah yang harus dipahami, yaitu data statistik mengandung koefiesien kesalahan atau error. Kesalahan ini, dalam statistik, dapat ditoleransi sesuai dengan limit yang ditentukan, 1%, 10% atau lebih tergantung kepercayaan kita terhadap metodologi survei yang digunakan. Belum ditambah dengan isu-isu data pesanan dan lain-lain yang tentunya menambah koefisien error menjadi lebih besar.
Bagaimana kemudian satu daerah mempercayakan data dasar pembangunan dalam kurun waktu 5 tahun, bahkan jangka panjang hanya pada satu data statistik. Padahal penggunaan data ini pasti akan dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) bahkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah. Ingat, RPJP dan RPJM ini mengikat pelaksanaan pembangunan daerah selama 5 sampai 25 tahun ke depan.
Perubahan paradigma pemerintahan dari era sentralisasi ke desentralisasi, seperti tertuang dalam Panduan Pemahaman Dan Pengisian Data Dasar Perencanaan Bappenas, mengakibatkan konsekuensi bagi daerah dalam pemenuhan data dasar yang lebih lengkap, agar setiap tahapan pembangunan dilandasi data yang lebih aktual.
Jenis data yang dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan, menurut panduan ini, adalah data sumber daya manusia, sumber daya alam, sarana dan prasarana fisik, aglomerasi kegiatan ekonomi, sistem kota-kota, perekonomian, kepemerintahan dan kelembagaan dan sistem keuangan/perbankan.
Data-data ini pun terbagi atas dua tipe yaitu data dasar dan data turunan. Data dasar adalah data yang berdiri sendiri bukan seperti jumlah penduduk, umur, kelahiran, kematian. Data turunan adalah data hasil olahan memanfaatkan dua data dasar atau lebih. Seperti data sebaran penduduk perwilayah diolah dari jumlah penduduk dan wilayah.
Dalam kerangka Verifiabilitas data, adalah penting bagi pemerintah daerah mempunyai data pokok mandiri, sehingga validitas data bisa di crosscheck dengan sumber data lain. Jadi data BPS dijadikan data sekunder. Sangat jarang ada pemerintah daerah mempunyai data primer hasil sistem informasi manajemen yang dibangun memanfaatkan resource yang ada.
Membangun Sistem Informasi Berbasis Desa
Sekarang saatnya berbicara kongkrit. Resource yang dimiliki pemerintah daerah untuk membangun sistem informasi yang handal, tersedia dalam jumlah dan kualitas memadai. Utamanya dalam penyediaan data dasar secara continue artinya karakteristikcomplete dan timely dapat terpenuhi.
Karena yang kita bicarakan disini mengenai data dasar maka akan lebih baik apabila fokus obyek data kita fokuskan kepada yang paling mendasar pula. Sumber data paling mendasar di daerah adalah desa. Menurut Sutardjo Kartohadikusumo Desa adalah suatu kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Oleh karena itu ide otonomi desa patut didukung khususnya mengenai pengelolaan data pokok desa. Saya masih ingat dulu kita telah punya satu produk data pokok desa yang bisa dimanfaatkan secara maksimal. Data pokok tersebut diberi label monografi desa.
Monografi desa adalah unit terkecil dari monografi kecamatan dan selanjutnya menjadi bahan dasar dari sebuah monografi kabupaten. Jenjang ini semestinya bisa dioptimalisasi kedalam satu jejaring sistem informasi. Tentunya bagi pemenuhan kebutuhan data pokok daerah bahkan data pokok nasional. Dengan catatan, produk ini disusun dengan metodologi dan sistem informasi yang baik.
Disinilah saya pikir urgensi diberikannya status PNS bagi Sekretaris Desa. Sekdes semestinya mampu diberdayakan sebagai agen data daerah. Sekdes bersama kepala desa lah yang benar-benar mengetahui kondisi riil warga dan wilayahnya. Pemberdayaan peran ini tentu akan berdampak pada peningkatan kualitas sumber daya aparat desa. Contoh, berikan kemampuan Geografic Information System (GIS) untuk memenuhi data spasial atau juga latih mengoperasikan aplikasi sistem informasi monografi desa berbasis komputer bahkan internet.
Peningkatan kemampuan dan peran tentu akan berdampak pada sallary yang diterima oleh aparat desa. Adalah satu hal yang wajar daerah mengalokasikan anggaran lebih bagi aparat desa apabila peran dan fungsi mereka jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Bukankah lebih efektif mengalirkan sebagian dana dan wewenang ke desa dalam kerangka pemberdayaan desa.
Pemerintah daerah harus dari sekarang menyusun sebuah rancang bangun sistem informasi monografi sebagai sumber data pokok daerah. Rancang bangun ini disusun berbasiskan pemanfaatan teknologi informasi yang mempunyai akselerasi dan cakupan layanan yang luas. Pengembangan aplikasi monografi desa inipun harus didasarkan pada prinsip mudah, murah dan berteknologi tinggi (hi-tech).
Tentunya dibawah koordinasi Sekdes yang PNS, sumber data dasar lain dapat di handlemelalui sistem informasi monografi desa ini. Seperti data kelahiran, bekerjasama dengan bidan desa sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak di desa. Atau juga data pendidikan bekerjasama dengan sekolah-sekolah yang ada di desa. Apabila sistem informasi ini terkoneksi melalui teknologi informasi maka mekanisme updating data dapat dilakukan secara otomatis perhari bahkan per jam.
Alangkah menyenangkannya kalau data pertambahan penduduk kabupaten/kota dapat diakses dan dipantau perhari atau perminggu melalui peran bidan desa. Bidan desa menginput setiap data kelahiran pada komputer yang terhubung langsung dengan gateway monografi desa dan terhubung dengan server monografi kabupaten. Apalagi kalau kemudian server kabupaten terhubung dengan Sistem Informasi Adiministrasi Kependudukan (SIAK) dalam rangka register akte kelahiran, bidan desa langsung bisa mencetak akte kelahiran saat itu juga.
Dengan sistem yang integrated seperti ini tentu layanan kepada masyarakat semakin dekat, cepat dan tepat. Insya Allah langkah menuju Good Governance yang bertumpu pada peningkatan pelayanan publik akan segera terwujud. Percaya.
Sumber tulisan :
Samsul Ramli

Model Pembangunan Desa Terpadu


LATAR BELAKANG
Para pendiri Negara kita Republik Indonesia tercinta dengan segala pemahamannya tentang kondisi Tanah Air Indonesia yang terdiri beribu – ribu pulau dan suku bangsa dengan bijak menempatkan kondisi Desa sebagai unsur Pemerintah terdepan. Struktur Pemerintahan sedemikian rupa memiliki semangat untuk menjadikan Desa sebagai pilar utama pembangunan bangsa, logikanya bila sekitar 80.000 desa di bumi pertiwi ini maju, mandiri, sejahtrera dan demokratis maka menjelmalah Negara Kesatuan Indonesia menjadi bangsa yang besar dan terhormat dalam percaturan bangsa – bangsa di dunia.
Lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan pola sentralistik yang dikembangkan di masa lalu telah menempatkan desa menjadi “pelengkap penderita“ yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari atas bahkan cenderung segala potensi yang dimilikinya lebih banyak menjadi “Upeti“ pada Pemerintah diatasnya. Desa tetap miskin bodoh dan abdi para pejabat diatasnya yang semakin rakus mengeksploitasi desa.
Setelah berjalan lama mulai tumbuh akan kesadaran akan kekeliruan tersebut terutama setelah terbukti bahwa pola sentralistik hanya menghasilkan koruptor-koruptor dan kesenjangan sosial yang tajam antara pusat, daerah dan desa. Reformasi pola ini dirombak total dimana pola desentralisasi yang ditinggalkan akan dipacu kembali Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang semangatnya lebih berpihak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kesulitan berhimpun dalam rangka membangun posisi tawar bagi pemerintahan desa telah punah. 
Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan Desa selalu bersipat top down dan sektoral dalam perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program pemerintah pusat ( setiap departemen ) yang bersipat sektoral. Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah, hal lain yang menjadi permaslahan adalah tidak dicermatinya persoalan mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi tidak tepat.
Berkaitan dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data statistik, ternyata sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena itu, pembangunan sudah sewajarnya difokuskan di ddesa sebagai upaya mengatasi kemiskinan, Pembangunan selama ini, lebih banyak di arahkan di kota, hal ini menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka menjadi persoalan besar di kota.
Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar baru terpenuhi untuk sekolah dasar saja, Kondisi ini menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi masyarakat desa untuk merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota. 
Pada kenyataannya, seluruh potensi sumber daya alam, sebagai raw material aktivitas penunjang perekonomian bisa dilaksanakan tanpa ada support bahan baku yang diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus segera diselesaikan melalui strategi pembangunan desa yang tepat dan teritegrasi. 
Fakta lain memperlihatkan ekploitasi sumber daya alam di desa secara besar besaran, dengan tidak mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan masyarakat setempat, dengan alasan kemampuan rendah dari masyarakat setempat, menyebabkan kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial. Kondisi lingkungan menjadi rusak, demikian juga terjadi trasformasi kultur secara negatif, sebagai akibat masuknya para pendatang baru yang menyebabkan strategi pembangunan dalam mengatasi kemiskinan tidak akan berhasil apabila tidak diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutanyang secara sadar merubah pola konsumsi masyarakat dan cara-cara produksi yang tidak menunjang keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
PERMASALAHAN 1. Sampai saat ini belum ada konsep/model pembangunan desa yang dapat menjadi solusi secara optimal dalam upaya pengentasan kemiskinan di desa.
2. Pembangunan desa yang dilaksanakan bersifat sektoral, yang hanya akan memberikan solusi secara parsial juga dan dengan waktu yang bersifat temporer, sehingga tidak ada jaminan kelangsungan program tersebut.
3. Sumberdaya manusia di desa, baik aparat maupun masyarakatnya memberikan kontribusi besar terhadap melambatnya berbagai upaya pelaksanaan pembangunan desa itu sendiri.
4. Keterbatasan sumber pendanaan, baik dari desa maupun dari Kabupaten, Provinsi dan Nasional, merupakan faktor utama lain yang menyebabkan lambatnya proses pembangunan desa. Disisi lain Anggaran yang disediakan/dialokasikan ke desa, baik dari Kbupaten, Provinsi maupun dari Nasional, cenderung bersifat project, bahkan charity, bersifat sesaat dan berdampak pada golongan tertentu saja di desa.
5. Perencanaan yang disusun, walaupun telah melalui suatu proses yang panjang, yaitu dari Musrenbang, Musrenbangda, (Kabupaten dan Provinsi) serta Musrenbangnas, tetap tidak menujukan suatu streamline yang jelas serta tidak menujukan keterpaduan program (commited programme). Bahkan pada kebanyakan kasus perencanaan, usulan dari desa sejak di awal diskusi pada Musrenbangcam telah terelementasi.
6. Sudut pandang dari semua pihak terhadap upaya pembangunan desa masih seperti dulu, yaitu menempatkan desa sebagai suatu objek dengan klasifikasi rendah, sehingga tidak menjadi prioritas dan bersifat seperlunya saja, sehingga dengan memformulasikan suatu program yang bersifat charity, dianggap telah memberikan sesuatu manfaat yang sangat besar.
7. Belum terlihat adanya suatu pemahaman yang menunjukan bahwa desa sebagai sumber utama pembangunan Nasional, sehingga desa patut menjadi sasaran utama pembangunan dan harus ditempatkan sebagai partner utama dalam sistem pembangunan Nasional.
8. Persoalan ketidak jelasan kewenangan yang ada di Pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Nasional menyebabkan terdapatnya berbagai kesulitan dalam menyusun dan mengimplementasi kebijakan Pemerintah Provinsi terhadap upaya Pembangunan desa.
ANALISIS Terkait dengan pembangunan desa (rural development), secara tradisional Mosher (1969:91) menyebutkan bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk pertumbuhan sektor pertanian, dan integrasi Nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negara ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai, serta menciptakan keadilan ekonomi berupa bagaimana pendapatan itu didistribusikan kepada seluruh penduduk, Menurut Fellman & Getis (2003:357), pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana mengubah sumber daya alam dan sumber daya manusia suatu wilayah atau Negara, sehingga berguna dalam produksi barang dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan perbaikan dalam tingkat produksi barang ( materi) dan konsumsi. 
Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin (Jayadinata & Pramandika, 2006: 1), Sasaran dari program pembangunan pedesaan adalah meningkatkan kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat desa, sehingga mereka memperoleh tingkat kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual
Berdasar uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus memperhatikan berbagai faktor, diantaranya adalah terkait dengan pembangunan ekonomi, pembanguna atau pelayanan pendidikan, pengembangan kapasitas pemerintahan dan penyediaan bernagai infrastruktur desa. semua faktor tersebut diperlukan guna mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan desa ke dalam suatu rencana yang terstruktur dalam desain tata ruang. 
Disisi lain, baik dalam Musyawarah perencanaan pembangunan ( Musrenbang), musyawarah perenacanaan pembangunan daerah ( Musrenbangda), dan musyawarah perencanaan pembanguan kecamatan ( Musrenbangcam), dimana ajang tersebut sebagai ajang perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak optimal dan hanya bersifat formalitas semata, karena terjadi tarik menarik kepentingan antara elite di daerah, Dengan demikian, ajang musrenbang/musrenbangda/musrenbangcam pun tidak maksimal untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena masing masing level (elite birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan keputusan yang telah dibuat sebelumnya dalam hal penentuan program pembangunan daerah. Di samping itu, hasil musrenbang dalam kenyataannya tidak pernah diaplikasikan dan diimplementasikan dilapangan secara utuh.
Otonomi daerah yang berada di Kabupaten/Kota juga menyebabkan peran pemerintah Provinsi menjadi tidak maksimal dalam upaya pengentasan kemiskinan di Jawa Barat, Dalam hierarki perundang undangan, peran pemerintah Provinsi hanya sebatas memberikan saran dan konsultasi kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Hal tersebut menyebabkan ketiadaan akses yang lebih bagi pemerintah Provinsi untuk dapat mengimplementasikan program program pengentasan atau penanggulangan kemiskinan di desa.
Minimnya peran pemerintah Provinsi terkait dengan pembangunan desa, kondisi tersebut kemudian diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah pusat dalam pembangunan desa yang selalu bersifat top down, dimana pemerintah pusat selalu memaksakan program programnya dalam pembangunan desa bagi daerah. Kebijakan Pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau sektoral, sehingga keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi. Dengan kata lain, antar departemen terkait tidak ada sinergitas fungsi dan program terkait dengan kemiskinan di desa, selain itu, kebijakan pemerintah dalam pembangunan desa selam ini tidak akomodatif terhadap ke khasan daerah dan cenderung diseragamkan, kebijakan tidak fokus pada pengentasan atau penanggulangan kemiskinan, dimana kegiatan apa yang akan dilakukan tidak berdasarkan pada grand design pembangunan desa (misalnya 5 tahunan) 
Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini dinilai tidak berdasarkan pada potensi desa yang ada, tidak berdasarkan pada desain tata ruang (yang telah dibuat), hasil musrenbang tidak implementatif, tidak ada perencanaan yang komprehensif terhadap pembangunan desa, mekanisme perencanaan dan pembiayaan desa tidak optimal, peran Stakeholders terutama pemerintah desa tidak optimal, Hal tersebut telah menyebabkan pembangunan desa hanya menggantungkan (depen on) pada bantuan atau program dari pemerintah pusat, Provinsi Kabupaten dan Kota. selain itu, kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini juga dinilai tidak memperhatikan kondisi faktual infrastruktur yang ada di desa, ketersediaan prasarana ekonomi dan aktivitas ekonomi, pelayanan pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja sehingga diversifikasi usaha di desa sangat terbatas, lebih lanjut, desa menjadi tidak mandiri dan hanya menggantungkan usaha atau pencaharian nafkah kepada sektor pertanian semata. Akibat program program pemerintah yang tidak berdasarkan pada potensi dan kekhasan daerah tersebut telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa menjadi tidak berkembang.
Secara umum, berdasarkan peraturan perundang undangan, sebenarnya desa dapat membangun daerahnya berdasarkan prakarsa sendiri secara bottom up. Dimana desa terdiri dari kepala desa dan perangkatnya serta badan permusyawaratan desa (BPD) sebagai legislatif Desa, Di sisi lain, sumber pembiayaan bagi pembangunan desa yang dapat diambil berdasar perundang undangan yaitu dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota, dari penghasilan desa yang syah (BUMdes), serta kerjasama dengan pihak ketiga.
Dengan mekanisme seperti ini, maka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa seharusnya bersifat bottom up. Akan tetapi selama ini, baik perencanaan maupun implementasi pembangunan desa selalu bersifat top down, dimana desa hanya menerima program program pembangunan desa dari pemerintah. Berdasarkan mekanisme perundang undangan yang ada, seharusnya desa memiliki grand design pembangunan sendiri (inisiatif desa), jika desa memiliki grand design dalam pembangunan desanya, maka desa dimungkinkan hanya akan mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten atau kota. sedangkan inisiatif untuk melakukan dan melaksanakan pembangunan (Program program) datang dari inisiatif desa sendiri. 
Lebih lanjut, dalam pengajuan pembiayaan yang dilakukan oleh desa kepada pemerintah, terdapat klasifikasi program pembangunan desa, misalnya untuk pembangunan infrastruktur fisik, pembangunan ekonomi dan kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, desa dimungkinkan untuk mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, misalnya untuk membangun sekolah, pasar desa, listrik, air, dan sebagainya, Disisi lain, desa dimungkinkan juga untuk dapat melakukan riset potensi desa dan bekerjasama dengan pihak ketiga, misalnya terkait dengan kondisi tanah atau lahan yang tandus dan tidak bisa dikembangkan. Hingga, semua pengajuan program pembangunan desa muncul dari inisiatif desa berdasarkan pada kondisi eksisting dan tata ruang desa, Berdasarkan perundang hal tersebut dapat dilakukan oleh desa, namun sejauh ini berbagai program pembangunan desa selalu ditentukan oleh pemerintah (top down) dan desa hanya melaksanakannya saja, Maka permasalahan yang kemudian timbul adalah, apakah perangkat desanya tidak mengerti ataukah pemerintah yang tidak pernah mengerti akan esensi pembangunan desa, sehingga memaksakan programnya sendiri. 
Dengan demikian, pemerintah (baik pusat, provinsi, kabupaten/ kota) seharusnya hanya mendorong dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mampu merencanakan pembangunan desanya, sehingga pemerintah pusat hanya melakukan pembiayaan berbagai program pembangunan yang di ajukan oleh desa, Selama ini permasalahan tersebut selalu terjadi karena desa sendiri tidak memiliki konsep dalam merancang pembangunan desa dan pemerintah juga tidak memahami akan eksistensi pembangunan desa berdasarkan keunikan dan kekhasan desa dengan memaksakan berbagai programnya. 
Secara umum kondisi tersebut dapat dikatakan telah mencapai tahap kejenuhan, Untuk mengatasi persoalan kemiskinan, upaya yang perlu dilakukan tidak lagi semata mata mengandalkan pada kebijakan ekonomi makro, tetapi juga diimbangi dengan kebijakan mikro berupa terobosan yang secara langsung memberikan pengaruh pada peningkatan produktivitas golongan miskin tersebut, utamanya dengan peningkatan pembangunan desa yang terintegrasi (Tjiptoherijanto, 1997: 57). 
Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya secara lebih terpadu, Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun seharusnya pembangunan wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.
STRATEGI 
Mencermati uraian terdahulu, walaupun belum melalui suatu penelitian yang resmi, hanya berbekal pengalaman ( experient base) dan pendekatan literatur, dapat dirumuskan suatu strategi upaya pembangunan desa dalam rangka pengentasan kemiskinan, Sebagai berikut : 
1. Penyusunan tata ruang desa menjadi prasyarat utama dalam memulai suatu upaya pembangunan desa. Dalam proses penyusunan tata ruang desa telah dirumuskan berbagai potensi yang ada, keunikan, kultur yang melandasi dan harapan harapan yang ingin dicapai, sehingga wujud desa nantinya menjadi khas, seperti desa wisata, desa tambang, desa kebun, desa peternakan, desa nelayan, desa agribisnis, desa industri, desa tradisional dan lain sebagainya. Dalam tata ruang tersebut, harus tersusun rencana infrastruktur, site plan untuk office, pemukiman, comercial area, lahan usaha/budidaya berbasis sentra(satu hamparan), kemampuan daya dukung lingkungan (berdasarkan estimasi jumlah penduduk maksimal), lokasi pendidikan, sarana pelayanan kesehatan, pasar, terminal dan ruang publik (alun alun, taman) dan sebagainya sesuai kebutuhan dan kesepakatan masyarakat.
2. Penetapan aktivitas dan komoditi yang akan dijadikan basis pengembangan ekonomi desa, didasarkan analisis terhadap potensi yang ada, kemampuan masyarakat pada umumnya, potensi pasar, minat dan kultur masyarakat.
3. Pembentukan lembaga lembaga masyarakat yang akan berperan sebagai stakeholders, dan akan memberikan berbagai masukan dalam proses pembangunan desa.
4. Perumusan perencanaan pembangunan untuk satu masa jabatan Kepala Desa, serta program pembangunan setiap tahunnya. Perumusan harus melibatkan harus melibatkan seluruh komponen di desa, didasarkan kepada tata ruang yang telah disusun serta didasarkan kepada kewajaran dan ketersediaan anggaran.
5. Pemerintah pusat, Provinsi, Kabupaten / Kota dapat memberikan asistensi, masukan sesuai dengan kebijakan, misi dan visi terhadap dokumen perencanaan yang disusun, serta memberikan dukungan berupa pengalokasiandana dalam bentuk tugas pembantuan atau bantuan yang diarahkan (specific grand ), Dengan demikian tidak ada lagi program charity, baik dari Kabupaten / Kota, Provinsi maupun dari pusat. Seluruh aktivitas pembangunan di desa sudah terintegrasi programnya (commited program ) dan sudah terintegrasi juga alokasi anggarannya (commited budget).
6. Untuk pembangunan pendidikan, terutama dalam menuntaskan program wajardikdas sembilan tahun, di desa perlu di bangun sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama dalam satu lokasi, ini dilakukan untuk mengefisiesikan biaya pembangunan dan pemeliharaan sekolah, juga untuk meringankan beban orang tua murid yang besar, yaitu komponen transport.
7. Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan di desa perlu dibangun Puskesmas Pembantu atau sejenis, dan untuk desa yang sangat terpencil dapat didukung dengan Unit Pelayanan Kesehatan Keliling.
8. Untuk pembangunan perekonomian di desa, dilakukan penetapan kegiatan dan komoditas terpilih, sinkronisasi dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten / Kota, penguatan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), penyiapan masyarakat dan lokasi sentra Manajemen sentra, Penetapan berbagai kerjasama dengan pihak ketiga, penyiapan sarana perekonomian (seperti terminal, pasar, koperasi, atau sejenis), penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, serta pembentukan lembaga fasilitator, baik dari masyarakat Desa itu sendiri atau dari luar dan dari Perguruan Tinggi melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN).
9. Untuk meningkatkan SDM aparat desa dilakukan dengan meningkatkan program dan kegiatan yang telah berjalan melalui program pusat, provinsi dan kabupaten / kota, efektivitas program lomba desa dan peningkatan program Non Governtment (NGO).
KESIMPULAN 
1. Keberhasilan pembangunan desa sangat dipengaruhi oleh cara pandang level pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten / kota.
2. Pembangunan Desa pada hakekatnya merupakan pengakuan dan penghargaan dari semua pihak terhadap pemerintahan dan masyarakat desa dalam upayanya mencapai harapan dengan potensi, dan kekhasannya sendiri sehingga desa seyogyanya menjadi prioritas utama pembangunan dari semua level pemerintahan.
3. Keberhasilan pembangunan desa akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keberhasilan pembangunan secara nasional, provinsional dan kabupaten / kota.
4. Persoalan kemiskinan, baik diperkotaan maupun di pedesaan akan tereliminasi secara signifikan, apabila tercapai pembangunan di desa desa.
5. Konsep Desa Mandiri, Dinamis dan Sejahtera, merupakan konsep integrasi perencanaan dan implementasi, dikenal dengan commited programme dan commited budget, merupakan konsep yang dilakukan secara gradual, terarah dan pasti, serta melibatkan semua pemangku kepentingan yang akan beraktivitas di desa.
6. Keberhasilan konsep ini sangat tergantung kepada political will para pengambilan kebijakan dan peran serta seluruh pemangku kepentingan.